Oleh: Rati Suharjo
(Pegiat Literasi Era Digital)
Saat ini, internet telah menjadi kebutuhan utama masyarakat di zaman serba digital. Namun, di balik kemudahan akses informasi, media sosial juga membuka ruang bagi kekerasan dan eksploitasi, terutama terhadap perempuan dan anak. Kelompok rentan ini kian berisiko menjadi korban akibat kurangnya pengawasan terhadap konten digital serta tidak optimalnya peran negara dalam melindungi mereka di dunia maya.
Peningkatan Kasus Kekerasan Digital terhadap Perempuan dan Anak
Kondisi ini tidak hanya dirasakan secara kasatmata, tetapi juga diperkuat oleh temuan pemerintah. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Arifatul Choiri Fauzi, menyatakan bahwa media sosial dan penggunaan gawai menjadi salah satu pemicu utama meningkatnya kekerasan terhadap perempuan dan anak. Minimnya pengawasan terhadap keterlibatan anak dalam dunia digital menimbulkan kekhawatiran yang serius. Berdasarkan data terbaru, tercatat sebanyak 11.800 kasus kekerasan terjadi sepanjang Januari hingga Juni 2025, dan meningkat menjadi 13.000 kasus pada 7 Juli 2025 (Tempo.com, 11/7/2025).
Pesatnya Penetrasi Internet dan Kerentanan Anak Usia Dini
Peningkatan kasus ini sejalan dengan pesatnya penetrasi internet yang belum diimbangi dengan perlindungan memadai. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, jumlah pengguna internet di Indonesia telah mencapai 221 juta orang, setara dengan 79,5 persen dari total populasi. Yang menjadi perhatian, sebesar 9,17 persen dari jumlah tersebut merupakan anak-anak berusia di bawah 12 tahun. Fakta ini menunjukkan bahwa kelompok usia dini semakin rentan terhadap berbagai ancaman di ranah digital.
Bahkan, sebanyak 39,71 persen anak usia dini telah memakai ponsel, sementara 35,57 persen di antaranya sudah mengakses internet. Akses yang begitu luas ini berdampak langsung pada perilaku generasi muda, yang kini banyak meniru konten negatif yang mereka konsumsi. Bahkan, perilaku seperti berpelukan, berciuman dengan lawan jenis sudah tidak dianggap sebagai sesuatu yang terlarang. Mirisnya, sebagian di antara mereka melakukan perzinaan hingga menjadi pelacur dan mucikari.
Menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), sebanyak 66,6 persen anak laki-laki dan 62,3 persen anak perempuan di Indonesia diketahui pernah mengakses konten pornografi secara daring. Lebih mengkhawatirkan lagi, sekitar 38,2 persen anak laki-laki dan 39 persen anak perempuan dilaporkan pernah mengirimkan foto yang berkaitan dengan aktivitas seksual melalui platform digital.
Pentingnya Peran Negara dalam Perlindungan Digital
Melihat realitas yang semakin mengancam anak dan perempuan ini, jelas bahwa negara tidak boleh tinggal diam. Penyebaran konten pornografi dan kekerasan yang tidak terkontrol telah mendorong meningkatnya hasrat seksual serta perilaku agresif di kalangan remaja. Jika dibiarkan, hal ini akan menggerus moralitas generasi bangsa.
Salah satu langkah strategis yang perlu diambil adalah melalui pendidikan. Negara perlu menerapkan kurikulum yang berbasis akidah Islamiyah agar mampu membentuk pola pikir dan sikap yang berlandaskan nilai-nilai agama. Dengan demikian, standar perilaku generasi muda bukan sekadar mencari kesenangan atau materi, tetapi mengacu pada tolok ukur halal dan haram.
Selain itu, negara memiliki tanggung jawab besar dalam menyaring setiap konten digital yang beredar. Konten yang membahayakan pikiran masyarakat harus dicegah, sementara konten yang mendidik dan membangun karakter perlu didorong.
Untuk melengkapi penyaringan tersebut, sistem hukum yang adil dan tegas juga mutlak diperlukan sebagai landasan dalam menindak pelanggaran yang terjadi di ruang digital. Penegakan keadilan pun idealnya tidak hanya bergantung pada akal atau perasaan manusia, melainkan merujuk pada ketentuan dalam Al-Qur’an. Sebagaimana dijelaskan oleh Allah Swt. dalam Q.S al-Maidah ayat 50:
"Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?"
Ketika Al-Qur’an memerintahkan hukuman seperti rajam, cambuk, atau qisas, maka negara wajib menerapkannya secara konsisten demi menjaga ketertiban dan keadilan masyarakat.
Tantangan Sistem Demokrasi Sekuler dan Solusi Islam Kaffah
Sayangnya, sistem demokrasi sekuler saat ini justru menjadi penghalang terwujudnya keadilan tersebut. Demokrasi sekuler menjunjung kebebasan yang kebablasan, baik dalam perilaku, budaya, maupun gaya hidup.
Dengan demikian, untuk melindungi perempuan dan anak dari kejahatan siber secara menyeluruh, diperlukan penerapan Islam secara kaffah dalam bingkai daulah. Dalam sistem ini, media massa hanya akan memuat konten-konten yang mendidik dan berita yang membangun, baik dari dalam maupun luar negeri.
Wallahu alam bisshawab.
0 comments:
Posting Komentar