Oleh: Fika Adriani
(Praktisi Pendidikan)
Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan, setiap tahun, euforia perayaan Hari Kemerdekaan bergema di seluruh pelosok negeri, dari desa kecil hingga kota besar. Rakyat larut dalam kegembiraan dengan berbagai lomba, pesta rakyat, hingga upacara kenegaraan yang penuh khidmat.
Namun, di balik hiruk pikuk perayaan itu terselip tanya yang menggugah nurani: benarkah bangsa ini telah meraih kemerdekaan sejati? Ataukah kemerdekaan hanya dipahami sebatas bebas dari penjajahan fisik, sementara rakyat masih terkekang oleh kemiskinan, ketimpangan sosial, dan bentuk-bentuk penindasan modern?
Ironisnya, meskipun 80 tahun sudah penjajah asing angkat kaki, kenyataan di lapangan menunjukkan rakyat belum sepenuhnya merdeka. Kondisi ini tampak jelas dalam berbagai aspek kehidupan.
Sulitnya mencari penghasilan masih menjadi persoalan utama. Data BPS (2025) mencatat angka kemiskinan mencapai 9,36% atau sekitar 25,22 juta jiwa. Sementara itu, pengangguran terbuka mencapai 7,6 juta orang. Akibatnya, kualitas hidup menurun, angka kriminalitas meningkat, dan akses terhadap kesehatan serta pendidikan semakin terbatas.
Kesenjangan dan Korupsi
Masalah ini semakin diperburuk oleh perilaku pejabat publik. Mereka yang seharusnya mengemban amanah rakyat justru banyak terseret kasus korupsi. Di sisi lain, mereka menikmati gaji dan fasilitas fantastis, mencapai sekitar Rp100 juta per bulan, belum termasuk tunjangan mewah. Kontras dengan itu, rakyat justru dipaksa menanggung beban kenaikan pajak yang menjepit hampir seluruh sektor kehidupan, dari kebutuhan pokok hingga pendidikan.
Tidak berhenti di situ, kondisi infrastruktur pun menjadi bukti lain. Jalanan banyak yang rusak, sekolah roboh, biaya kesehatan makin mahal, sementara fasilitas pejabat justru terus meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa prioritas pembangunan kerap tidak berpihak pada kepentingan rakyat banyak.
Selain itu, masalah utang luar negeri juga menambah beban bangsa. Per Mei 2025, utang Indonesia tercatat mencapai US$393 miliar (setara Rp6.400 triliun). Ironisnya, sebagian besar hanya digunakan untuk menutup defisit dan membayar bunga, bukan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kondisi ini memperlihatkan bahwa kedaulatan ekonomi bangsa masih terikat erat pada sistem itu sendiri.
Namun, fakta hari ini menunjukkan kemerdekaan yang kita rasakan hanyalah kemerdekaan semu. Penjajah kini tidak lagi datang dari luar, melainkan lahir dari dalam negeri sendiri: segelintir elite yang mengkhianati amanah rakyat.
Hakikat penjajahan tidak hanya berupa penguasaan fisik, melainkan juga eksploitasi sumber daya, pengekangan kebebasan, dan perampasan hak rakyat. Bukankah kondisi itu yang masih terjadi? Rakyat yang bersuara lantang dianggap ancaman, sementara janji-janji kampanye pemimpin kerap berakhir sebagai sandiwara politik.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bangsa ini sedang terjebak dalam bentuk neo-kolonialisme dan kapitalisme modern yang menjerat rakyat, menjadikan mereka asing di negeri sendiri. Kemerdekaan kehilangan ruhnya karena tidak dibarengi kesejahteraan, keadilan, dan kedaulatan yang nyata.
Untuk keluar dari jeratan tersebut, bangsa ini membutuhkan arah baru dalam memaknai kemerdekaan. Kemerdekaan sejati bukan sekadar bebas dari penjajah asing, melainkan terwujud ketika setiap rakyat dapat hidup layak, terbebas dari penindasan, serta menikmati hasil kekayaan negeri secara adil.
Dalam perspektif Islam, kemerdekaan hakiki mencakup kebebasan fisik, politik, spiritual, dan sosial. Islam datang melalui risalah Nabi Muhammad Saw. untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penghambaan kepada selain Allah SWT. Maka, solusi atas problem kemerdekaan semu ini adalah kembali kepada aturan Allah secara kāffah (menyeluruh).
Sumber daya strategis seperti energi, tambang, dan air dikelola negara sebagai milik umum, bukan diprivatisasi. Hasilnya digunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat.
Negara wajib menjamin kebutuhan pokok rakyat—pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan—tanpa membebani mereka dengan pajak mencekik.
Penciptaan Lapangan Kerja
Selain itu, negara perlu menghadirkan industrialisasi berbasis potensi lokal, menghidupkan sektor pertanian dengan distribusi tanah yang adil, serta memastikan hak hidup fakir miskin melalui mekanisme Baitulmal.
Sistem pendidikan Islam mesti melahirkan generasi cerdas, kritis, dan berakhlak luhur. Negara juga menjaga akidah umat dari ideologi sekuler, liberal, maupun komunisme yang merusak sendi kehidupan.
Dengan penerapan syariah Islam secara sempurna, bangsa akan terbebas dari cengkeraman kapitalisme global. Negeri ini akan bertransformasi menjadi baldatun ṭayyibatun wa rabbun ghafūr sebagaimana dalam QS. Saba’: 15: negeri yang baik, sejahtera, dipimpin dengan adil, masyarakatnya bersyukur, serta penuh ampunan Allah SWT.
Akhirnya, inilah cita-cita kemerdekaan hakiki: kedaulatan penuh, keadilan sosial, dan kesejahteraan nyata bagi seluruh rakyat, bukan hanya segelintir elite. Tanpa itu semua, peringatan kemerdekaan hanya akan menjadi ritual seremonial tanpa makna.
Wallahu a’lam bissawab.
0 comments:
Posting Komentar