SELAMAT DATANG DI RAGAM FORMULA

BERITA DARI RAGAM FORMULA

media berita dan edukasi terpercaya yang menginspirasi dan mencerdaskan umat

Minggu, 14 September 2025

Oleh: Rati Suharjo (Pemerhati Kebijakan Publik)



Ironi Negara Agraris di Tengah Kenaikan Harga Beras

Indonesia, yang kerap dijuluki negara agraris dengan sawah membentang luas di berbagai wilayah, kini menghadapi kenyataan pahit. Di tengah potensi sumber pangan yang melimpah, rakyat harus menanggung beban lonjakan harga beras yang kian tak terkendali. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada pekan ketiga Agustus 2025, sebanyak 200 kabupaten/kota mengalami kenaikan harga beras, sebuah angka yang ironis dan mengkhawatirkan.

Kondisi ini menambah berat beban masyarakat, karena beras sebagai makanan pokok adalah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi setiap hari, di samping kebutuhan pokok lainnya.

SPHP: Jurus Jitu yang Gagal?

Untuk meredam kenaikan harga, pemerintah meluncurkan "jurus ampuh" melalui Program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas), 800 ribu ton beras digelontorkan ke berbagai jaringan distribusi, mulai dari ritel modern, pasar tradisional, hingga lembaga pemerintah daerah. Program ini diharapkan dapat mempermudah masyarakat memperoleh beras dengan harga terjangkau dan menekan harga pasar.

Namun, kenyataan di lapangan jauh dari harapan. Selain distribusi beras SPHP yang belum merata, kualitas berasnya pun menjadi sorotan. Investigasi Ombudsman RI menemukan banyak pedagang di pasar tradisional mengeluhkan mutu beras SPHP yang rendah, membuat konsumen enggan membeli. Akibatnya, banyak pedagang dan ritel memilih untuk tidak memajang atau menjual produk tersebut.

Melihat fakta ini, program SPHP tak lebih dari panggung sandiwara semata. Solusi yang ditawarkan bersifat tambal sulam, tidak menyentuh akar permasalahan.

Akar Masalah: Sistem Kapitalisme-Demokrasi

Sesungguhnya, masalah ini bukanlah sekadar soal teknis distribusi. Ini adalah cerminan lemahnya visi ketahanan pangan dan keberpihakan negara terhadap rakyat, khususnya petani. Padahal, seharusnya negara agraris seperti Indonesia mampu menggenjot produksi petani lokal dengan menyediakan bibit unggul, obat-obatan, hingga alat pertanian canggih untuk meningkatkan produktivitas.

Sayangnya, semua masalah ini berakar dari sistem kapitalisme-demokrasi yang diterapkan. Sistem ini melahirkan penguasa bermental pedagang, bukan pengurus rakyat. Alih-alih mendorong kedaulatan pangan, negara justru mengandalkan impor, bergantung pada mekanisme pasar, dan menyerahkan hajat hidup rakyat ke tangan korporasi besar. Akibatnya, petani lokal terus terpinggirkan, infrastruktur pertanian terbengkalai, dan rakyat dipaksa menanggung mahalnya harga pangan. Jika pola ini terus berlanjut, dampaknya akan semakin memiskinkan petani dan menjerat rakyat dalam harga pangan yang tinggi.

Khilafah: Solusi Tuntas untuk Kedaulatan Pangan

Berbeda halnya ketika Islam diterapkan dalam sebuah Daulah Islamiyah. Dalam sistem Khilafah, pertanian menjadi sektor prioritas negara. Penguasa atau khalifah adalah imam yang mengurus rakyat, bukan mencari keuntungan.

  • Optimalisasi Lahan: Setiap lahan produktif dioptimalkan agar tidak ada tanah yang terbengkalai. Negara akan mengambil alih tanah mati untuk diberikan kepada rakyat yang mampu mengolahnya, sesuai sabda Rasulullah ï·º: "Siapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya." (HR. Ahmad).
  • Pengaturan Kepemilikan: Kepemilikan tanah diatur ketat untuk mencegah monopoli dan spekulasi oleh korporasi. Tanah luas yang tidak digarap dapat diambil alih negara dan diserahkan kepada petani yang siap mengelolanya.
  • Dukungan Penuh untuk Petani: Negara memberikan kemudahan akses modal, bibit unggul, dan fasilitas agar petani bisa meningkatkan hasil panen. Dukungan ini mencakup pembangunan infrastruktur, riset varietas, dan penghapusan pajak yang memberatkan.
  • Cadangan Pangan dan Distribusi Adil: Negara menyediakan cadangan pangan melalui Baitul Mal untuk menjaga ketersediaan bahan pokok dan mencegah krisis. Hasil pertanian didistribusikan secara adil tanpa campur tangan tengkulak atau mafia pangan. Islam melarang penimbunan bahan makanan, sesuai peringatan Nabi ï·º bahwa pelakunya dijauhkan dari rahmat Allah.

Dengan penerapan syariat Islam secara menyeluruh, negara fokus mewujudkan swasembada, dan hanya melakukan impor jika keadaan benar-benar darurat.

Kedaulatan Pangan, Bukan Sekadar Slogan

Negara wajib mengelola urusan pangan secara langsung, menjamin ketersediaan dan kualitasnya, serta menyejahterakan petani. Pangan bukan komoditas untuk spekulasi, melainkan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Dalam sistem Khilafah, ketahanan pangan bukan sekadar slogan, tetapi terbukti nyata sepanjang sejarah.

Wallahualam bissawab.

0 comments:

Posting Komentar

Categories

Labels

Tragedi Ponpes Al-Khoziny: Bukti Telanjang Abainya Negara terhadap Pendidikan

Oleh: Rati Suharjo   Pengamat Kebijakan Publik Bangsa ini kembali berduka. Pada 29 September 2025, langit Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, seo...

Popular Posts

Blog Archive