SELAMAT DATANG DI RAGAM FORMULA

BERITA DARI RAGAM FORMULA

media berita dan edukasi terpercaya yang menginspirasi dan mencerdaskan umat

Senin, 01 September 2025

Oleh: Sri Wahyuni

(Pegiat Dakwah)





"Kalau cinta sudah dibuang, jangan harap keadilan akan datang.

Kesedihan hanya menjadi tontonan bagi mereka yang diperbudak jabatan.”


Penggalan lirik lagu Iwan Fals ini terasa begitu relevan dengan realitas bangsa hari ini. Para wakil rakyat yang seharusnya menjadi corong aspirasi masyarakat justru lebih sering sibuk mengurus kepentingan pribadi dan kelompoknya. Rakyat kecil hanya dijadikan alat politik saat pemilu, namun segera dilupakan setelah kursi kekuasaan berhasil diraih.


Jurang kesenjangan sosial semakin melebar. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025 mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 26,1 juta jiwa (9,4%), sementara angka pengangguran masih tinggi, sekitar 7,2 juta orang. Kebutuhan pokok terus melambung—mulai dari listrik, BBM, hingga harga beras—yang membuat rakyat makin terhimpit. Lebih dari itu, hampir semua sektor kini dibebani pajak.


Di tengah jeritan rakyat tersebut, publik justru dibuat geram oleh kabar kenaikan gaji dan tunjangan DPR/MPR yang menembus lebih dari Rp100 juta per bulan. Itu pun belum termasuk fasilitas mewah seperti rumah dinas, kendaraan dinas, hingga biaya perjalanan. Lebih menyakitkan lagi, beredar video anggota dewan berjoget riang saat membicarakan kenaikan tunjangan tersebut. Video ini viral dan memicu gelombang kritik karena kontras dengan kenyataan jutaan rakyat yang hidup pas-pasan, bahkan ada yang masih berada di bawah garis kemiskinan.


Fenomena ini tidak bisa semata-mata ditimpakan pada individu anggota DPR/MPR atau presiden. Akar persoalan sesungguhnya terletak pada sistem demokrasi kapitalis yang menjadi fondasi tata kelola negara. Sistem ini melahirkan ketidakadilan struktural: kebijakan negara lebih berpihak kepada elite politik dan pemilik modal besar, sementara kesejahteraan rakyat kerap dikesampingkan.


Apabila sistem ini terus dipertahankan, penderitaan rakyat hanya akan terus berulang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Segelintir elite tetap berpesta pora dengan kekuasaan, sedangkan rakyat semakin terpuruk dalam jurang kemiskinan dan ketidakadilan.


Berbeda dengan sistem demokrasi kapitalis, Islam menawarkan solusi alternatif yang adil dan menyeluruh. Syariat Islam mengatur negara tanpa membebani rakyat dengan pajak yang mencekik. Rasulullah ï·º menegaskan:


"Tidak akan masuk surga pemungut pajak (cukai)."

(HR. Ahmad, Abu Daud, dan Al-Hakim)


Dalam Islam, pemasukan negara bersumber dari zakat, kharaj, jizyah, ghanimah, fai’, dan terutama dari pengelolaan kekayaan alam. Rasulullah ï·º bersabda:


"Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api (energi)."

(HR. Abu Daud dan Ahmad)


Hadis ini menegaskan bahwa sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak wajib dikelola negara, dan hasilnya harus dikembalikan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat. Seandainya kekayaan alam Indonesia—mulai dari emas, nikel, minyak, gas, hasil laut, hutan, hingga pertanian—dikelola sesuai syariat Islam, maka pendidikan gratis, layanan kesehatan berkualitas, jaminan kebutuhan pokok, dan pembangunan infrastruktur dapat diwujudkan tanpa harus membebani rakyat dengan pajak.


Sudah saatnya bangsa ini kembali kepada penerapan Islam secara kaffah sebagai solusi hakiki. Sistem ini bukanlah utopia, melainkan pernah terbukti dalam sejarah mampu membawa keadilan dan kesejahteraan bagi umat manusia. Berbeda dengan demokrasi kapitalis yang hanya menguntungkan segelintir elite, Islam hadir untuk menyejahterakan seluruh rakyat sekaligus menjaga amanah kekuasaan.


Wallahu a’lam bisshawab.

0 comments:

Posting Komentar

Categories

Labels

Tragedi Ponpes Al-Khoziny: Bukti Telanjang Abainya Negara terhadap Pendidikan

Oleh: Rati Suharjo   Pengamat Kebijakan Publik Bangsa ini kembali berduka. Pada 29 September 2025, langit Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, seo...

Popular Posts

Blog Archive