Oleh: Ernanda Luluk Fatimah
(Penulis dan Aktivis Kota Blora)
Akhir-akhir ini, Indonesia kembali diguncang berbagai aksi unjuk rasa. Gelombang demonstrasi ini terjadi di berbagai kota, sebut saja demo warga Pati, unjuk rasa di depan Gedung DPR RI, hingga aksi "Indonesia Cemas 2025" yang dimotori oleh mahasiswa. Sayangnya, tidak sedikit dari aksi-aksi ini yang berujung tragis. Salah satunya, publik dikejutkan oleh insiden di depan DPR RI, di mana seorang ojol menjadi korban hingga meninggal dunia setelah terlindas kendaraan Brimob, memicu kerusuhan di beberapa kota.
Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan mendasar: siapa yang salah? Rakyat yang turun ke jalan atau penguasa yang gagal mengayomi rakyatnya?
Ketika Suara Rakyat Dibungkam
Fenomena demonstrasi massal sejatinya terjadi karena adanya kebijakan pemerintah yang dianggap melenceng jauh dari kepentingan rakyat. Alih-alih mendengar keluhan, pemerintah seringkali terlihat menutup mata dan telinga. Di saat yang sama, media sosial dipenuhi berita tentang bobroknya negeri. Rakyat yang muak akhirnya menyalurkan aspirasi melalui unjuk rasa, berharap suara mereka didengar dan terjadi perubahan.
Unjuk Rasa dalam Perspektif Islam
Dalam Islam, istilah “unjuk rasa” memang tidak dikenal secara harfiah. Namun, prinsip amar ma’ruf nahi munkar (menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran) dan kewajiban menasihati pemimpin adalah hal yang sangat ditekankan. Rasulullah ï·º bersabda, "Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kalimat kebenaran di hadapan penguasa yang zalim." (HR. Abu Dawud).
Unjuk rasa sendiri masuk kategori muamalah duniawi, yang hukum asalnya mubah (boleh), selama tidak menyalahi syariat. Bahkan, bisa menjadi wajib jika tujuannya untuk meluruskan kebijakan yang zalim. Tentu, hal ini harus dilakukan secara tertib, damai, tidak merusak, tidak mencaci, dan tidak menumpahkan darah, serta berlandaskan argumen kuat, bukan sekadar emosi.
Teladan Kepemimpinan yang Ideal
Seharusnya, seorang pemimpin justru bersyukur jika ada rakyat yang berani mengingatkan kekeliruannya. Al-Qur'an menegaskan bahwa tugas pemimpin adalah mengemban amanah, melindungi rakyat, dan menegakkan keadilan (QS. An-Nisa: 58).
Kita memiliki teladan agung dari Umar bin Khattab ra., khalifah yang tidak segan mengakui kesalahannya, bahkan ketika dikoreksi oleh seorang wanita. Beliau pernah berkata, "Tidak ada kebaikan pada kalian jika tidak menyampaikannya kepada kami, dan tidak ada kebaikan pada kami jika tidak mendengarkan dari kalian." Ada pula kisah seorang sahabat yang menghunus pedang sambil berkata, "Kalau engkau menyimpang, kami akan meluruskanmu dengan pedang ini." Umar justru bersyukur karena masih ada rakyat yang berani menegurnya.
Realitas Penguasa Masa Kini
Sayangnya, realitas saat ini sangat jauh berbeda. Sebagian penguasa tampak kurang siap menerima kritik, bahkan bersikap represif terhadap rakyatnya. Sikap seperti ini memiliki kecenderungan yang mendekati perilaku diktator.
Sejarah mencatat, sistem negara Islam (Khilafah) pernah berdiri tegak lebih dari seribu tahun. Kekuatan utamanya terletak pada ketaatan penguasa dan rakyatnya kepada syariat Islam. Dalam masa itu, keadilan bisa dirasakan oleh seluruh penduduk, termasuk non-Muslim, menunjukkan bahwa sistem Islam adalah salah satu sistem terbaik yang pernah ada.
Sistem pemerintahan Islam bukan sekadar soal simbol atau nama, melainkan bagaimana seluruh aturan dijalankan sesuai syariat. Pemimpin menjadi pengayom umat, yang merasa takut jika rakyatnya lapar atau terzalimi. Di bawah sistem ini, rakyat juga sadar bahwa hidup mereka terikat dengan aturan Allah, bukan hawa nafsu manusia.
Protes Bukanlah Akar Masalah
Maka jelaslah, unjuk rasa bukanlah kesalahan rakyat. Rakyat hanya menyuarakan kegelisahan dan kebenaran yang semestinya didengar. Justru, kesalahan ada pada pemimpin yang menutup telinga dari kritik. Solusi sejati tidak cukup dengan demonstrasi semata, melainkan perubahan sistem menuju pemerintahan Islam yang benar-benar melindungi semua orang, baik Muslim maupun non-Muslim.
0 comments:
Posting Komentar