Oleh: Rati Suharjo
(Pengamat Kebijakan Publik)
Setiap tahun, umat Islam di berbagai negara memperingati hari lahir Nabi Muhammad ﷺ dengan beragam tradisi. Ada yang mengadakan pengajian, bershalawat, membaca Barzanji, berbagi makanan, hingga memberi santunan kepada anak yatim dan dhuafa. Di Banten, tradisi Panjang Mulud masih dijaga sebagai wujud cinta kepada Rasulullah ﷺ. Namun, tradisi yang indah ini seharusnya tidak hanya dijadikan warisan budaya, tetapi juga menjadi pengingat perjuangan Nabi yang penuh pengorbanan.
Salah satu contohnya terlihat pada peringatan Maulid di Masjid Agung Terate, Serang, Banten, Jumat malam, 12 September 2025. Ratusan jamaah hadir memenuhi masjid. Anak-anak muda Generasi Z menjadi panitia utama, memadukan kreativitas modern dengan nilai-nilai Islam. Suasana yang meriah namun sarat makna ini menunjukkan bahwa cinta kepada Rasulullah ﷺ terus hidup dan diwariskan lintas generasi (inews.com, 13/9/2025).
Namun, di balik semaraknya perayaan Maulid, umat Islam masih menghadapi kenyataan pahit. Palestina, Suriah, Yaman, dan banyak negeri Muslim lainnya masih dilanda perang dan penjajahan. Jutaan saudara kita hidup miskin dan tertindas. Di sisi lain, tidak sedikit umat yang terlena dengan kehidupan dunia, melupakan amanah Rasulullah ﷺ untuk menegakkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Akibatnya, peringatan Maulid sering kali hanya menjadi acara tahunan tanpa makna perjuangan.
Padahal, Maulid Nabi seharusnya menjadi momen untuk merenungkan perjuangan Rasulullah ﷺ. Beliau tidak hanya berdakwah tentang ibadah, tetapi juga membangun masyarakat dan peradaban Islam. Setelah 13 tahun berdakwah di Mekah dengan penuh tekanan, Rasulullah ﷺ berhijrah ke Madinah dan mendirikan negara Islam pertama. Peradaban ini berkembang pesat selama lebih dari 13 abad, hingga akhirnya Khilafah Utsmaniyah runtuh pada tahun 1924 akibat pengkhianatan Mustafa Kemal Atatürk.
Sejak saat itu, negeri-negeri Muslim terpecah, dijajah, dan dipimpin dengan sistem sekuler, baik demokrasi maupun monarki. Syariat Islam dihapus dari kehidupan publik, budaya Barat dipaksakan, bahkan adzan dan jilbab pernah dilarang di Turki. Dampaknya terasa hingga kini: umat Islam terpecah-belah, lemah, dan kerap menjadi korban ketidakadilan dunia.
Keterpurukan ini bukan disebabkan kurangnya sumber daya atau jumlah penduduk, melainkan karena umat meninggalkan penerapan Islam secara menyeluruh. Banyak yang hanya fokus pada ibadah pribadi dan ritual, tetapi melupakan perjuangan agar ajaran Nabi diterapkan dalam kehidupan nyata. Padahal, Allah berfirman:
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali Imran: 104)
Ayat ini menegaskan pentingnya perjuangan bersama, bukan hanya ibadah pribadi. Karena itu, Maulid Nabi seharusnya menjadi momentum kebangkitan umat untuk kembali kepada Islam secara kaffah (menyeluruh).
Ada tiga langkah penting untuk mewujudkan hal tersebut:
Menegakkan syariat Islam secara total. Islam harus menjadi pedoman hidup di semua bidang: politik, ekonomi, hukum, pendidikan, sosial, dan budaya.
Mempersatukan umat Islam di bawah satu kepemimpinan. Persatuan adalah kunci membangun kembali peradaban Islam.
Menguatkan dakwah secara berjamaah. Perubahan tidak dapat dicapai sendirian; harus diperjuangkan bersama-sama.
Hanya dengan penerapan Islam kaffah, umat Islam dapat bangkit dari keterpurukan dan kembali menjadi pemimpin dunia. Peringatan Maulid Nabi adalah waktu yang tepat untuk menyalakan kembali semangat perjuangan Rasulullah ﷺ, bukan sekadar merayakan hari kelahirannya.
Mari kita berhenti puas dengan acara seremonial semata. Sudah saatnya mengemban amanah Rasulullah ﷺ untuk menegakkan syariat Islam di seluruh aspek kehidupan dalam bingkai Daulah Islamiyah. Dengan kesadaran bersama, persatuan, dan perjuangan yang sungguh-sungguh, umat Islam akan kembali menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Wallahu a’lam bish-shawab.
0 comments:
Posting Komentar