Oleh: Elsa Agustin (KIPG)
Di tengah maraknya pembangunan kota dan derasnya arus urbanisasi, mimpi memiliki rumah yang layak huni masih menjadi perjuangan bagi keluarga di Indonesia. Harga tanah yang terus meroket, biaya cicilan yang mahal, hingga proses administrasi yang rumit seringkali menjadi kendala. Namun, secercah harapan muncul melalui program rumah subsidi pemerintah.
Salah satu contoh nyata terlihat di perumahan Pasadana, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung. Lahan kosong kini telah berjejer rapi rumah-rumah sederhana yang merupakan bagian dari program pemerintah 3 juta rumah layak huni untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Program ini berupaya mengatasi kendala yang selama ini menghantui calon pembeli, seperti uang muka yang tinggi, tenor pendek, dan bunga yang memberatkan.
Pemerintah berupaya memecahkan masalah ini dari dua sisi, yaitu penyediaan dan pembiayaan. Dari sisi penyediaan, rumah dibangun seefisien mungkin agar harganya tetap terjangkau. Sementara dari sisi pembiayaan, skema kredit dibuat lebih ringan dan panjang.
Dengan skema baru ini, masyarakat dengan penghasilan Rp5 juta per bulan bisa mendapatkan cicilan maksimal Rp1,5 juta. Pemerintah bahkan menjangkau mereka yang berpenghasilan di bawah Rp4 juta. Upaya ini mendapat dukungan penuh dari perbankan, seperti BTN, yang menjadi pelaku utama Kredit Pemilikan Rumah (KPR) subsidi.
Direktur BTN, Nixon LP Napitupulu, menyatakan bahwa perpanjangan tenor menjadi 20-30 tahun bisa menurunkan angsuran bulanan hingga Rp100.000-Rp200.000. Selain itu, biaya tambahan juga dipangkas. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) kini ditanggung pemerintah, semakin meringankan beban finansial calon pembeli.
Kritik Terhadap Solusi Program Rumah Subsidi
Dalam pandangan sistem kapitalisme, program pemerintah untuk membantu MBR menyediakan rumah subsidi sering dianggap sebagai solusi sementara. Ada beberapa keterbatasan yang perlu dicermati:
- Ketergantungan pada subsidi: Program ini bisa menciptakan ketergantungan pada bantuan pemerintah, alih-alih memberdayakan masyarakat untuk mengelola keuangan secara mandiri.
- Tidak tepat sasaran: Subsidi terkadang tidak tepat sasaran, di mana pihak yang tidak membutuhkan justru menerima manfaat, sementara yang benar-benar memerlukan kurang mendapatkan perhatian.
- Tidak menyelesaikan masalah mendasar: Program subsidi tidak menyelesaikan akar masalah dalam sistem ekonomi, seperti ketidaksetaraan distribusi kekayaan dan kesenjangan sosial.
Masalah perumahan bersubsidi adalah permasalahan mendasar yang berulang, karena konsep pembangunan perumahan di negara kapitalis seringkali berorientasi pada bisnis, bukan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.
Alternatif Solusi dalam Sistem Islam
Sistem Islam menawarkan perspektif yang berbeda. Dalam Islam, rumah bukanlah sekadar komoditas, melainkan hak yang harus dijamin oleh negara. Tidak ada ruang untuk spekulasi atau eksploitasi dalam pemenuhan kebutuhan dasar ini.
Sistem Islam akan mengelola sumber daya alam dan kepemilikan umum secara langsung. Hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat dalam bentuk pelayanan publik, termasuk penyediaan hunian. Pembiayaannya berasal dari pos Baitul Mal, seperti hasil pengelolaan sumber daya alam, zakat, fai’, kharaj, dan jizyah.
Dana tersebut digunakan untuk membangun rumah bagi rakyat miskin, membantu mereka yang tidak memiliki hunian, atau menyediakan layanan pembiayaan tanpa riba, bukan diserahkan kepada korporasi atau pihak swasta yang mencari keuntungan semata.
Dalam pandangan Islam, rumah adalah kebutuhan primer manusia yang harus terpenuhi. Allah SWT berfirman, “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal, sesuai dengan kemampuanmu.” (QS Ath-Thalaq: 6). Sistem Islam menjamin setiap warga negaranya mendapatkan jaminan kesejahteraan. Selain sandang dan pangan, negara bertanggung jawab langsung atas pemenuhan kebutuhan pokok individu, termasuk tempat tinggal. Rasulullah ï·º bersabda, “Imam (Khalifah) adalah pemelihara dan pengurus rakyatnya, dan ia bertanggung jawab atas mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).
0 comments:
Posting Komentar