SELAMAT DATANG DI RAGAM FORMULA

BERITA DARI RAGAM FORMULA

media berita dan edukasi terpercaya yang menginspirasi dan mencerdaskan umat

Kamis, 31 Juli 2025

Oleh: Anizah

(Penulis dan Aktivis Kota Blora)



Beberapa waktu lalu, masyarakat dikagetkan dengan kasus Minyakita palsu yang ternyata minyak curah dan takarannya tidak sesuai. Kini, masyarakat kembali dikejutkan dengan beras premium yang dioplos dengan beras berkualitas rendah.

Terbaru, Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman bersama Satgas Pangan Polri dan tim Kementerian Pertanian mengungkap temuan mengejutkan. Sebanyak 212 dari 268 merek beras premium terbukti melakukan pengoplosan dan pelanggaran standar kualitas, berat, dan harganya.

Dari pengujian 13 laboratorium di 10 Provinsi, hasilnya sangat mengkhawatirkan. Sebanyak 85,56% beras premium tidak sesuai mutu, 59,78% dijual di atas Harga Ecer Tertinggi (HET), dan 21,66% beratnya tidak sesuai. Akibat dari kasus ini, kerugian bisa mencapai Rp 100 triliun setiap tahunnya. (METROTV 14/07/2025)

Akibat Sistem Kapitalisme

Kecurangan demi kecurangan dalam sistem kapitalisme sudah menjadi hal yang biasa. Sistem yang berasaskan materi akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya, tanpa peduli ada banyak masyarakat yang menderita dan dirugikan.

Peredaran beras palsu ini sangat merugikan. Bagaimana tidak, sudah kualitas tidak sesuai mutu, mengklaim beras premium, tetapi nyatanya beras dengan kualitas standar, takarannya tidak sesuai, ditambah lagi harganya di atas HET. Masyarakat berjuang menyisihkan anggaran lebih supaya bisa membeli beras berkualitas untuk keluarga, tetapi nyatanya dioplos juga.

Sistem kapitalisme sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan mencetak manusia-manusia yang tak takut akan Tuhannya. Mereka melakukan perbuatan sesuka hati tanpa memandang halal haram atau terpuji dan tercela.

Sistem sanksi yang diterapkan pun tidak bisa membuat efek jera bagi pelakunya. Bahkan, hukum di sistem ini bisa diperjualbelikan atau bisa jadi pelaku kebal dari hukum karena mempunyai banyak uang dan dekat dengan penguasa.

Adapun negara hanya menjadi regulator dan fasilitator, tidak benar-benar mengurusi ketersediaan pangan untuk rakyatnya. Negara merasa sudah cukup aman ketika stok pangan diklaim cukup, tetapi ternyata banyak yang dioplos. Inilah akibat penerapan sistem kapitalisme sekuler yang memosisikan negara hanya sebagai regulator, bukan pengurus rakyat.

Islam Mampu Mencegah Kecurangan

Sejatinya, permasalahan umat pada hari ini bahkan seluruh dunia adalah karena ketiadaan penerapan syariat Islam dalam bingkai Khilafah. Dalam Islam, penguasa memiliki tanggung jawab penuh untuk menjadi pemimpin yang amanah, jujur, adil, dan menjaga kemaslahatan umat.

Jadi, di dalam Islam, jabatan bukanlah suatu posisi untuk mencari keuntungan, melainkan amanah besar yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Dalam Islam, negara harus hadir penuh dalam urusan pangan. Bukan hanya memastikan pasokan yang tersedia, akan tetapi mengelola seluruh rantai produksi hingga distribusi. Negara tidak akan membiarkan urusan vital seperti pangan jatuh ke tangan korporasi swasta yang hanya berorientasi pada keuntungan semata.

Dalam distribusi, Khilafah mengawasi pasar agar rantai niaga berjalan jujur dan adil. Negara melarang tegas penimbunan, kecurangan, riba, tengkulak, dan kartel. Jika ditemukan pelanggaran publik seperti kecurangan dalam perdagangan, maka pelaku akan diberi sanksi sesuai syariat Islam secara langsung dan efektif tanpa berlarut-larut.

Hanya negara Islam (Khilafah) yang mampu memenuhi kebutuhan pokok secara adil dan merata, serta mencegah manipulasi dan kedzaliman. Inilah wujud nyata dari sistem Islam, menjadikan penguasa sebagai pelayan umat dan menegakkan aturan Allah demi kebaikan dan keberkahan seluruh masyarakat.

Wallahualam bissawab. 

Oleh: Rati Suharjo

(Pegiat Literasi)



Khalifah Umar bin Khattab r.a. pernah berkata, "Barangsiapa memiliki sebidang tanah lalu menelantarkannya selama tiga tahun tanpa mengolahnya, kemudian ada orang lain yang mengelolanya, maka orang yang mengelolanya itulah yang lebih berhak atas tanah tersebut." Pernyataan ini menunjukkan bahwa dalam Islam, tanah dipandang sebagai sumber daya bernilai yang harus digunakan secara produktif. Siapa pun yang mengelola tanah dengan baik berhak atas hasilnya, bahkan kepemilikannya. Prinsip ini menegaskan bahwa tanah merupakan titipan yang wajib dimanfaatkan untuk kepentingan bersama.

Kebijakan Tanah Terlantar di Indonesia

Pandangan ini memiliki kemiripan dengan kebijakan yang diterapkan pemerintah Indonesia. Dalam rangka mendorong pemanfaatan tanah secara optimal, negara menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar. Berdasarkan aturan ini, negara berhak mengambil alih tanah yang tidak dimanfaatkan selama dua tahun. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyatakan bahwa ketentuan ini berlaku untuk seluruh jenis hak atas tanah, termasuk Hak Milik, HGU, HGB, HPL, maupun Hak Pakai (kompas.com, 18/7/2025).

Untuk mendukung kebijakan tersebut, tanah terlantar didefinisikan sebagai lahan yang sengaja tidak diusahakan, tidak dimanfaatkan, atau tidak dipelihara oleh pemegang haknya. Tujuan utama kebijakan ini adalah mencegah praktik spekulasi lahan, mempercepat pembangunan, dan mendukung kepentingan umum melalui pembangunan infrastruktur, reforma agraria, serta pengembangan ekonomi masyarakat. Secara teoritis, kebijakan ini tampak sebagai langkah strategis menuju keadilan agraria.

Realitas Praktik dan Perbedaan dengan Islam

Namun, dalam praktiknya, realitas sering kali tidak sejalan dengan idealisme kebijakan. Pengambilalihan tanah oleh negara kerap kali justru lebih menguntungkan korporasi dan kepentingan investasi, alih-alih berpihak pada masyarakat kecil. Banyak lahan dialihkan untuk proyek-proyek infrastruktur berskala besar yang justru menghilangkan akses masyarakat terhadap tanah garapan. Sementara itu, angka pengangguran dan kemiskinan tetap tinggi, memperlihatkan bahwa manfaat kebijakan ini belum sepenuhnya dirasakan oleh rakyat.

Di sinilah perbedaan mendasar dengan sistem Islam terlihat. Dalam Islam, pengelolaan tanah tidak hanya berbicara soal pemanfaatan, tetapi juga soal keadilan distribusi. Negara bertanggung jawab memastikan tanah benar-benar dikelola oleh mereka yang membutuhkan, bukan dikuasai oleh elite pemilik modal. Tanah tidak boleh menjadi objek spekulasi, melainkan harus menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan umat.

Peran Negara dalam Sistem Islam Kaffah

Prinsip ini hanya dapat dijalankan secara menyeluruh dalam sistem Islam kaffah yang diterapkan oleh Daulah Islamiyah. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., "Pemimpin adalah penggembala, dan ia bertanggung jawab atas gembalaannya" (HR Bukhari dan Ahmad). Dalam sistem kepemimpinan Islam, negara hadir sebagai pelayan umat, bukan penguasa atas mereka. Negara wajib menjamin kebutuhan dasar rakyat seperti pangan, sandang, papan, serta akses terhadap sumber daya alam, termasuk tanah.

Jika pengelolaan tanah dilakukan berdasarkan prinsip keadilan dan keberpihakan pada rakyat, maka negeri ini tak hanya akan terbebas dari krisis pangan, tetapi juga berpotensi menjadi lumbung pangan dunia.

Wallahu a’lam bishshawab.


​Oleh Rahayu

(Pegiat Dakwah)



​Belum lama ini, Kejaksaan Agung menangkap 18 tersangka dalam kasus korupsi Pertamina, yang merugikan negara hingga Rp285 triliun (Kompas.com, 11 Juli 2025). Salah satu modus operandinya adalah menjual minyak mentah ke luar negeri, lalu mengimpornya kembali dengan harga lebih tinggi. Akibatnya, rakyat kecil kesulitan membeli minyak karena harganya melonjak, padahal minyak tersebut berasal dari sumber daya alam (SDA) milik bangsa sendiri. Ironisnya, minyak mentah itu sebenarnya masih Ketika Korupsi Menjadi Tradisi: Saatnya Kembali pada Syariat dimanfaatkan untuk kebutuhan dalam negeri.

Korupsi sebagai Tradisi yang Mengakar

​Fakta ini kembali menegaskan bahwa korupsi telah menjadi tradisi yang mengakar kuat di negeri ini, bahkan di tengah masyarakat mayoritas Muslim. Dari elite penguasa hingga rakyat biasa, praktik haram ini menyebar tanpa rasa malu dan nyaris tanpa henti. Setiap hari, media menyajikan berita korupsi bak menu wajib: dari televisi, media sosial, hingga surat kabar. Padahal, Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya SDA seperti emas, minyak, gas, batu bara, nikel, hutan, dan laut. Namun, kekayaan ini tak cukup untuk menyelamatkan negeri dari krisis moral dan kehancuran sistemik.

Lemahnya Sistem Hukum dan Dampak Kapitalisme Demokrasi

​Kerusakan ini tak lepas dari lemahnya sistem hukum yang berlaku. Hukum tampak tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. Rakyat kecil dihukum tanpa ampun, sementara para penguasa atau pemilik modal kerap bebas dari jerat hukum. Uang dan pengaruh bisa membeli keadilan. Rakyat pun hanya bisa menyaksikan ketimpangan ini dengan getir dan kecewa. Korupsi telah menjadi wajah gelap dari sistem kapitalisme demokrasi yang selama ini diterapkan.

Akar Korupsi: Lemahnya Iman dan Sekularisme

​Jika ditelaah lebih dalam, suburnya korupsi di negeri ini berakar dari lemahnya iman serta jauhnya umat dari nilai-nilai Islam. Ketakwaan, yang seharusnya menjadi benteng dari kerakusan dan cinta dunia, telah terkikis dalam sistem kehidupan sekuler saat ini. Demokrasi kapitalis membuka peluang besar bagi pemilik modal untuk membeli kekuasaan. Proses demokrasi hanya menjadi panggung transaksi kekuasaan lima tahunan, bukan ajang memperjuangkan kepentingan rakyat.

Solusi Hakiki: Kembali pada Syariat Islam

​Oleh karena itu, sudah saatnya kita mengevaluasi sistem yang selama ini menjadi pijakan berbangsa dan bernegara. Sistem kapitalisme-demokrasi terbukti gagal menegakkan keadilan dan mencabut akar korupsi. Sebaliknya, dalam sejarah Islam, kita mengenal sosok-sosok pemimpin adil seperti Khalifah Umar bin Khattab yang tidak segan memeriksa harta pejabat yang mencurigakan, bahkan mengembalikannya ke baitulmal. Rasulullah SAW juga telah menegaskan bahwa harta yang diperoleh secara haram (ghulul) akan menjadi azab di akhirat (HR. Muslim).

​Kini saatnya umat bangkit dan menyadari bahwa solusi hakiki tidak berasal dari sistem buatan manusia yang rapuh, tetapi dari sistem ilahi yang menyeluruh dan sempurna. Syariat Islam tidak hanya memberikan sanksi tegas bagi pelaku korupsi, tetapi juga membangun pencegahan melalui pendidikan iman, sistem ekonomi yang adil, dan kontrol masyarakat yang aktif. Hanya dengan penerapan Islam secara kaffah, yang menyentuh seluruh aspek kehidupan, korupsi dapat diberantas hingga keakar-akarnya, hukum ditegakkan dengan adil, dan kehormatan negeri ini dapat dipulihkan.

​Wallahu a’lam bishshawab.

Jumat, 25 Juli 2025

Oleh: Neneng 

(Komunitas Ibu Peduli Generasi)




Gaza Kembali Berdarah

Situasi di Gaza saat ini masih diselimuti duka dan sangat memprihatinkan. Dikutip dari CNBC Indonesia, jumlah korban tewas warga Palestina di Jalur Gaza telah mencapai 56.412 orang, dengan 133.054 orang lainnya terluka, sejak agresi militer Israel terhadap Hamas meletus pada 7 Oktober 2023. Data ini disampaikan oleh otoritas kesehatan Gaza pada Sabtu, 28 Juni 2025.

Dalam 24 jam terakhir, serangan Israel telah merenggut 81 nyawa warga Palestina dan menyebabkan 422 orang lainnya terluka. Sebagian besar korban adalah perempuan, anak-anak, dan warga sipil tak berdosa. Lebih dari 92% rumah hancur dan rata dengan tanah.

Pengkhianatan Para Penguasa Muslim

Meskipun situasi Gaza sudah sedemikian memprihatinkan, para penguasa muslim memilih untuk diam. Bahkan hingga terjadi perang Iran dengan Israel pada Juni 2025, tak satupun penguasa muslim tergerak untuk benar-benar serius menolong Gaza.

Banyak pihak berharap para penguasa muslim akan bersatu melawan Israel yang selama ini menindas rakyat Palestina. Sayangnya, mereka justru sibuk membuat kesepakatan normalisasi hubungan dengan Zionis melalui Perjanjian Abraham 2020. Yang lebih menyedihkan lagi, mereka malah menyambut gencatan senjata yang dimediasi AS pada 24 Juni 2025 tanpa melihat agresi Israel terhadap Palestina atau Iran.

Solusi Dua Negara: Solusi Palsu yang Membodohi Umat

Beberapa negara, termasuk Indonesia, bahkan mendorong solusi dua negara sebagai jalan damai. Ini adalah bentuk pembodohan terhadap umat. Solusi dua negara sudah lama dijadikan narasi untuk melanggengkan penjajahan Zionis atas tanah Palestina.

Faktanya, sampai kapan pun Zionis tidak akan pernah menerima kemerdekaan Palestina. Begitu juga dengan Palestina, tidak akan mungkin memberikan sejenggal tanah pun kepada penjajah. Mereka tidak mungkin mengkhianati Perjanjian Umayyah dan pengorbanan para syuhada yang telah mempertahankan tanah Palestina dengan darah dan nyawa mereka. Artinya, pembantaian akan terus terjadi dan perlawanan pun tak akan pernah surut.

Khilafah: Solusi Hakiki bagi Palestina

Umat Islam harus yakin bahwa solusi bagi Gaza dan Palestina adalah dengan tegaknya Khilafah yang akan mengomandoi jihad, bukan solusi dua negara yang dinarasikan sejak dulu. Oleh karena itu, umat harus sadar bahwa hanya dengan Khilafah-lah Palestina akan terbebas dari segala bentuk penjajahan dan pembantaian.

Pembantaian di Gaza harus menjadi momen terbitnya fajar kebangkitan umat Islam. Berharap pada solusi Barat justru akan menjauhkan dari solusi hakiki penjajahan Palestina. Khilafah sebagai warisan Nabi Muhammad Saw. terbukti telah menjadi penjaga dan pelindung bagi umat serta membawa umat kepada perubahan hakiki dan kebangkitan hakiki.

Wallahualam bissawab.



Kamis, 24 Juli 2025

Oleh: Rati Suharjo 

(Pegiat Literasi Era Digital)



Saat ini, internet telah menjadi kebutuhan utama masyarakat di zaman serba digital. Namun, di balik kemudahan akses informasi, media sosial juga membuka ruang bagi kekerasan dan eksploitasi, terutama terhadap perempuan dan anak. Kelompok rentan ini kian berisiko menjadi korban akibat kurangnya pengawasan terhadap konten digital serta tidak optimalnya peran negara dalam melindungi mereka di dunia maya.

Peningkatan Kasus Kekerasan Digital terhadap Perempuan dan Anak

Kondisi ini tidak hanya dirasakan secara kasatmata, tetapi juga diperkuat oleh temuan pemerintah. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Arifatul Choiri Fauzi, menyatakan bahwa media sosial dan penggunaan gawai menjadi salah satu pemicu utama meningkatnya kekerasan terhadap perempuan dan anak. Minimnya pengawasan terhadap keterlibatan anak dalam dunia digital menimbulkan kekhawatiran yang serius. Berdasarkan data terbaru, tercatat sebanyak 11.800 kasus kekerasan terjadi sepanjang Januari hingga Juni 2025, dan meningkat menjadi 13.000 kasus pada 7 Juli 2025 (Tempo.com, 11/7/2025).

Pesatnya Penetrasi Internet dan Kerentanan Anak Usia Dini

Peningkatan kasus ini sejalan dengan pesatnya penetrasi internet yang belum diimbangi dengan perlindungan memadai. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, jumlah pengguna internet di Indonesia telah mencapai 221 juta orang, setara dengan 79,5 persen dari total populasi. Yang menjadi perhatian, sebesar 9,17 persen dari jumlah tersebut merupakan anak-anak berusia di bawah 12 tahun. Fakta ini menunjukkan bahwa kelompok usia dini semakin rentan terhadap berbagai ancaman di ranah digital.

Bahkan, sebanyak 39,71 persen anak usia dini telah memakai ponsel, sementara 35,57 persen di antaranya sudah mengakses internet. Akses yang begitu luas ini berdampak langsung pada perilaku generasi muda, yang kini banyak meniru konten negatif yang mereka konsumsi. Bahkan, perilaku seperti berpelukan, berciuman dengan lawan jenis sudah tidak dianggap sebagai sesuatu yang terlarang. Mirisnya, sebagian di antara mereka melakukan perzinaan hingga menjadi pelacur dan mucikari.

Menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), sebanyak 66,6 persen anak laki-laki dan 62,3 persen anak perempuan di Indonesia diketahui pernah mengakses konten pornografi secara daring. Lebih mengkhawatirkan lagi, sekitar 38,2 persen anak laki-laki dan 39 persen anak perempuan dilaporkan pernah mengirimkan foto yang berkaitan dengan aktivitas seksual melalui platform digital.

Pentingnya Peran Negara dalam Perlindungan Digital

Melihat realitas yang semakin mengancam anak dan perempuan ini, jelas bahwa negara tidak boleh tinggal diam. Penyebaran konten pornografi dan kekerasan yang tidak terkontrol telah mendorong meningkatnya hasrat seksual serta perilaku agresif di kalangan remaja. Jika dibiarkan, hal ini akan menggerus moralitas generasi bangsa.

Salah satu langkah strategis yang perlu diambil adalah melalui pendidikan. Negara perlu menerapkan kurikulum yang berbasis akidah Islamiyah agar mampu membentuk pola pikir dan sikap yang berlandaskan nilai-nilai agama. Dengan demikian, standar perilaku generasi muda bukan sekadar mencari kesenangan atau materi, tetapi mengacu pada tolok ukur halal dan haram.

Selain itu, negara memiliki tanggung jawab besar dalam menyaring setiap konten digital yang beredar. Konten yang membahayakan pikiran masyarakat harus dicegah, sementara konten yang mendidik dan membangun karakter perlu didorong.

Untuk melengkapi penyaringan tersebut, sistem hukum yang adil dan tegas juga mutlak diperlukan sebagai landasan dalam menindak pelanggaran yang terjadi di ruang digital. Penegakan keadilan pun idealnya tidak hanya bergantung pada akal atau perasaan manusia, melainkan merujuk pada ketentuan dalam Al-Qur’an. Sebagaimana dijelaskan oleh Allah Swt. dalam Q.S al-Maidah ayat 50:

"Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?"

Ketika Al-Qur’an memerintahkan hukuman seperti rajam, cambuk, atau qisas, maka negara wajib menerapkannya secara konsisten demi menjaga ketertiban dan keadilan masyarakat.

Tantangan Sistem Demokrasi Sekuler dan Solusi Islam Kaffah

Sayangnya, sistem demokrasi sekuler saat ini justru menjadi penghalang terwujudnya keadilan tersebut. Demokrasi sekuler menjunjung kebebasan yang kebablasan, baik dalam perilaku, budaya, maupun gaya hidup.

Dengan demikian, untuk melindungi perempuan dan anak dari kejahatan siber secara menyeluruh, diperlukan penerapan Islam secara kaffah dalam bingkai daulah. Dalam sistem ini, media massa hanya akan memuat konten-konten yang mendidik dan berita yang membangun, baik dari dalam maupun luar negeri.

Wallahu alam bisshawab.



 Oleh: Rina Ummu Meta

 (Pegiat Literasi Sosial dan Perlindungan Anak)


Kemajuan dunia digital tak dimungkiri mempermudah aktivitas manusia. Bahkan membawa dampak positif yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, di antaranya memudahkan akses informasi, pendidikan, kesehatan, komunikasi, mempermudah transaksi, sebagai media hiburan, efisiensi waktu, dan lainnya.

Namun, di sisi lain, ada banyak persoalan yang muncul akibat kemajuan era digital.

Dampak Negatif Kemajuan Era Digital

Persoalan atau dampak negatif yang timbul antara lain:

● Gangguan Kesehatan Fisik: Seperti gangguan penglihatan yang disebabkan paparan cahaya layar perangkat digital, nyeri leher dan punggung, serta lainnya.

● Gangguan Mental: Seperti depresi, stres, kecemasan, kecanduan gadget, dan lainnya.

● Kejahatan Siber: Di antaranya perundungan online, eksploitasi, penyebaran konten negatif, pencurian data, penipuan online, pelecehan seksual, dan lainnya.

● Pendidikan: Dengan adanya kemudahan untuk mengakses informasi secara instan justru menyebabkan siswa malas berpikir, tidak kreatif, menurunnya semangat belajar, maraknya penyebaran pornografi di kalangan siswa, dan masih banyak lagi.

Kerentanan Perempuan dan Anak terhadap Ancaman Siber

Faktor pemicu terbesar terhadap kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak adalah paparan media sosial dan gadget. Bahkan, fenomena saat ini menunjukkan anak usia dini sudah menggunakan gadget secara masif, sehingga rentan terhadap ancaman siber. Hal tersebut senada dengan pernyataan yang disampaikan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifatul Choiri Fauzi. Parahnya lagi, tidak ada kontrol dan bimbingan yang memadai dalam penggunaan gadget.

Dalam data Kementerian PPPA, pada 1 Januari tercatat sebanyak 11.800 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Bahkan, kasusnya meningkat hingga mencapai 13.000 kasus pada awal Januari hingga 7 Juli 2025 (www.tempo.com 11/07/2025). Data tersebut merupakan data yang tercatat, belum lagi kasus kekerasan yang tidak tercatat atau tidak dilaporkan.

Kelompok yang rentan terhadap ancaman siber adalah perempuan dan anak, dikarenakan rendahnya literasi digital dan lemahnya iman. Hal ini merupakan dampak dari sistem pendidikan sekuler yang hanya mengedepankan prestasi akademik semata, mengabaikan norma agama, dan minim pendidikan akhlak. Selain itu, sistem kehidupan yang dianut saat ini, yaitu sekularisme kapitalis, semakin menjauhkan manusia dari agama.

Bahaya Sekularisme Kapitalis

Agama hanya sebagai aktivitas ibadah ritual saja, halal haram bukan lagi sebagai pedoman dalam mengarungi kehidupan. Sekularisme meniscayakan kebebasan dalam berbuat, bertingkah laku, dan berpendapat; bahkan kebebasan tersebut dilindungi dalam undang-undang Hak Asasi Manusia (HAM). Meraih materi sebanyak-banyaknya menjadi tujuan untuk meraih kebahagiaan, tanpa menghiraukan aspek keselamatan.

Itulah yang terjadi saat ini, digitalisasi disinyalir mendatangkan banyak keuntungan materi namun aspek keselamatan luput dari perhatian. Selain mengancam keselamatan jiwa, ada bahaya lain yang mengintai yaitu penguasaan dunia siber bisa menjadi alat untuk menguasai negara. Tentu hal ini sangat berbahaya. Dalam hal ini, negara tidak memberikan perlindungan yang nyata, karena peran negara sebagai pelindung tidak ada dalam sistem sekuler kapitalis yang diemban saat ini.

Peran Negara dalam Sistem Islam

Lain halnya jika sistem Islam yang diterapkan dalam kehidupan. Islam mewajibkan peran negara sebagai junnah (pelindung dan penjaga rakyat). Dalam hadis disebutkan, "Sesungguhnya imam (pemimpin) itu adalah junnah (perisai) ia berperang di belakangnya (membela umatnya) dan berlindung dengannya." (HR. Imam Bukhari Muslim)

Sebagai junnah, negara bertugas menjaga keamanan dan ketertiban, menjaga keadilan serta melindungi hak-hak rakyat, dan menciptakan kemaslahatan bagi umat, termasuk dalam bidang teknologi.

Peran Berbagai Pihak dalam Melindungi dari Ancaman Siber

Teknologi ibarat pisau bermata dua, di satu sisi banyak memberikan manfaat, di sisi lain juga menimbulkan madharat luar biasa. Oleh karena itu, diperlukan peran dari berbagai pihak terkait, di antaranya peran orang tua dan pendidik. Orang tua dan pendidik harus membekali anak-anak dengan pengetahuan dan keterampilan untuk melindungi diri dari bahaya dunia maya. Orang tua menjadi garda terdepan dalam memberikan pendidikan akhlak dan akidah sejak usia dini, mengajarkan tentang keterikatan pada hukum syariat.

Sistem pendidikan juga sangat berperan dalam perkembangan teknologi. Negara akan menerapkan sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam, yang mencetak generasi berakhlaqul karimah. Sehingga dapat mengembangkan dan memanfaatkan teknologi secara bijaksana sesuai tuntunan syariat.

Negara akan membuat kebijakan yang komprehensif untuk melindungi anak-anak dan perempuan dari kejahatan siber. Negara akan memberikan petunjuk dan panduan dalam mengembangkan dan memanfaatkan teknologi.

Kemandirian Teknologi dan Perlindungan Siber dalam Islam

Dalam mengembangkan teknologi, negara tidak boleh bergantung dan mengandalkan pada infrastruktur teknologi asing. Negara harus menciptakan dan mengembangkan teknologi digital secara mandiri. Ilmu teknologi akan dikembangkan berdasarkan akhlak dan syariah sehingga akan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia.

Negara akan menutup dan mencegah konten-konten negatif yang dapat merusak generasi. Negara hanya akan menyuguhkan informasi yang sehat, konten pendidikan, ruang siber syar'i yang bebas dari konten negatif. Sehingga bukan hanya perempuan dan anak saja yang aman dari kejahatan siber, tetapi negara akan memberikan jaminan keamanan pada seluruh rakyatnya.

Wallahu a'lam bishsawab



Selasa, 22 Juli 2025

Oleh: Anita Novianti

(Aktivis Blora, Pemerhati Isu Sosial dan Perlindungan Anak)



Kasus perundungan anak kembali terjadi dan semakin meresahkan. Belakangan ini, masyarakat digegerkan oleh aksi perundungan yang dilakukan oleh siswa sekolah menengah pertama (SMP) terhadap teman sekelasnya. Bentuk perundungan tak lagi sekadar ejekan atau dorongan, tetapi sudah melibatkan kekerasan fisik, bahkan menggunakan benda haram seperti minuman keras (tuak). Ini bukanlah kejadian satu-dua kali, melainkan terus berulang, seolah menjadi gejala sosial yang tak kunjung selesai.

Kondisi ini menunjukkan bahwa perundungan bukan sekadar perilaku menyimpang anak semata, melainkan merupakan puncak dari persoalan yang lebih dalam. Apa yang terlihat hanyalah bagian kecil dari persoalan besar yang tersembunyi di bawah permukaan. Lonjakan kasus setiap tahunnya menjadi sinyal bahwa masalah ini tidak cukup diatasi dengan cara-cara biasa. Ini mencerminkan adanya persoalan sistemik dalam struktur sosial masyarakat saat ini.

Kegagalan Sistem Pendidikan dan Lemahnya Regulasi

Fakta bahwa pelaku perundungan adalah anak-anak usia sekolah yang seharusnya berada dalam proses pembentukan karakter menunjukkan bahwa sistem pendidikan saat ini gagal membentuk kepribadian pada generasi muda. Sistem pendidikan hari ini terlalu menitikberatkan pada aspek kognitif dan keterampilan kerja, sementara aspek akhlak dan spiritual justru diabaikan. Akibatnya, anak tumbuh menjadi pribadi yang miskin empati dan tak memiliki batasan benar-salah yang jelas.

Lebih jauh lagi, lemahnya regulasi dan sistem sanksi memperburuk keadaan. Banyak pelaku lolos dari pertanggungjawaban karena masih dianggap di bawah umur. Padahal secara perbuatan, tindakan mereka sudah bisa dikategorikan sebagai kejahatan serius. Ini menimbulkan ketidakadilan dan tidak memberi efek jera.

Akar Krisis Moral: Sistem Sekuler Kapitalistik

Semua ini merupakan buah dari penerapan sistem sekuler kapitalistik dalam kehidupan. Sistem ini memisahkan nilai agama dari aspek sosial, hukum, dan pendidikan. Agama hanya dianggap urusan pribadi, tidak dijadikan dasar dalam penyusunan kebijakan publik. Akibatnya, nilai moral menjadi relatif dan bergantung pada sudut pandang manusia semata. Inilah akar dari krisis moral yang terjadi saat ini.

Islam sebagai Solusi Mendasar dan Menyeluruh

Islam menawarkan solusi mendasar dan menyeluruh. Dalam Islam, perundungan adalah perbuatan haram. Baik dalam bentuk verbal, fisik, maupun menggunakan barang haram, semuanya dilarang dan harus dipertanggungjawabkan. Anak yang telah mencapai usia baligh dianggap mukallaf, yaitu telah wajib menjalankan syariat dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Ini menunjukkan bahwa Islam memiliki batas tegas dalam hukum dan akhlak.

Islam juga memiliki sistem pendidikan berbasis akidah. Tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk kepribadian Islam, yaitu pola pikir dan sikap hidup yang sesuai dengan syariat. Pendidikan ini menjadi tanggung jawab keluarga, masyarakat, dan negara. Negara dalam sistem Islam menyusun kurikulum berbasis akidah, mengatur media agar mendidik, dan menetapkan sanksi yang tegas namun mendidik.

Dengan penerapan sistem Islam secara menyeluruh dalam kehidupan termasuk dalam pendidikan, sosial, dan hukum, maka masyarakat akan melahirkan generasi yang berkepribadian Islam. Generasi yang memiliki akhlak mulia, takut kepada Allah, dan menjauhi perundungan serta kezaliman terhadap sesama.

Kesimpulan: Perubahan Pola Pikir Sistem Kehidupan

Oleh karena itu, solusi atas maraknya perundungan anak bukanlah sekadar menambah sanksi, tetapi perubahan pola pikir sistem kehidupan menuju penerapan Islam secara kaffah.









Oleh: Sendy Novita, S.Pd, M.M

​(Pendidik & Pengkaji Isu Sosial Keislaman)



​Kasus perundungan anak di Indonesia bagaikan fenomena gunung es yang tak kunjung surut, bahkan cenderung memprihatinkan. Setiap harinya, pemberitaan media massa tak luput dari laporan-laporan tentang anak-anak yang menjadi korban kekerasan fisik, verbal, maupun psikologis, baik di lingkungan sekolah, rumah, maupun daring. Ini adalah "PR besar" yang menuntut perhatian serius dari seluruh elemen bangsa, karena masa depan generasi penerus ada di tangan kita.

Fakta-Fakta Pilu Perundungan Anak di Tanah Air

​Data dan kasus perundungan anak di Indonesia menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Berdasarkan data KPAI, pada tahun 2023, tercatat sekitar 3.800 kasus perundungan, dengan hampir separuhnya terjadi di lembaga pendidikan. Sementara itu, di awal tahun 2024 (hingga Maret), KPAI menerima 141 aduan kekerasan anak, di mana 35% di antaranya terjadi di sekolah. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bahkan mencatat 573 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan pada tahun 2024, mengalami peningkatan signifikan dibanding tahun 2023 (285 kasus).

​Kasus-kasus yang mencuat ke permukaan ini hanyalah puncak dari gunung es. Banyak kasus lain yang tidak terlaporkan karena korban takut, malu, atau tidak tahu harus melapor ke mana. Dampak perundungan sangat serius, mulai dari gangguan psikologis seperti depresi, kecemasan, hingga keinginan untuk bunuh diri, bahkan kasus kematian yang baru-baru ini terjadi pada seorang mahasiswa PPDS FK Undip dan siswa di Kediri akibat perundungan.

Sistem Sekuler dan Abainya Peran Negara

​Fenomena perundungan yang terus merebak ini tidak bisa dilepaskan dari akar masalahnya, salah satunya adalah sistem sekuler yang dianut saat ini. Dalam sistem sekuler, agama dipisahkan dari kehidupan publik, termasuk dalam pembentukan moral dan etika masyarakat. Akibatnya, nilai-nilai spiritual dan akhlak mulia cenderung diabaikan, digantikan dengan kebebasan individual yang seringkali kebablasan.

​Kebebasan tanpa batas, minimnya pengawasan, dan absennya filter moralitas yang kuat, menciptakan lingkungan di mana perilaku agresif dan tidak berempati mudah berkembang. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan ini rentan menjadi pelaku perundungan karena kurangnya pemahaman tentang konsekuensi perbuatannya, minimnya pendidikan karakter berbasis agama, serta longgarnya sanksi sosial maupun hukum.

​Peran negara dalam sistem sekuler juga cenderung abai. Meskipun ada undang-undang perlindungan anak dan lembaga-lembaga terkait, implementasi di lapangan seringkali lemah. Penanganan kasus perundungan cenderung reaktif, bukan preventif. Kurikulum pendidikan belum secara efektif menanamkan nilai-nilai anti-perundungan secara komprehensif. Selain itu, ada kecenderungan untuk menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pembentukan karakter kepada keluarga, padahal keluarga sendiri juga menghadapi tantangan besar dalam mendidik anak di tengah arus sekulerisasi.

Islam sebagai Solusi Komprehensif: Peran Daulah Khilafah

​Berbeda dengan sistem sekuler, Islam menawarkan solusi yang komprehensif dan fundamental untuk mengatasi masalah perundungan anak. Islam bukan hanya agama ritual, melainkan panduan hidup yang sempurna (syamil wal mutakamil), mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk pembentukan individu dan masyarakat yang berakhlak mulia. Dalam Islam, perundungan adalah kejahatan yang dilarang keras, dan pelakunya akan mendapatkan balasan di dunia maupun akhirat.

​Dalam bingkai Daulah Khilafah, kejahatan perundungan akan diatasi dengan pendekatan yang multi-dimensi:

​Pendidikan Berbasis Akidah Islam: Sistem pendidikan dalam Khilafah akan menempatkan akidah Islam sebagai fondasi utama. Kurikulum akan dirancang untuk menanamkan nilai-nilai moral, etika, rasa kasih sayang, empati, dan tanggung jawab sejak dini. Anak-anak akan diajarkan untuk menghormati sesama, tidak merendahkan, dan senantiasa berbuat baik. Pendidikan bukan hanya tentang transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga pembentukan karakter (syakhsiyah islamiyah) yang kokoh.

​Sistem Sosial yang Kuat: Khilafah akan membangun sistem sosial yang didasarkan pada nilai-nilai persaudaraan (ukhuwah islamiyah) dan saling tolong-menolong. Lingkungan keluarga dan masyarakat akan didorong untuk aktif mengawasi dan membimbing anak-anak. Tanggung jawab mendidik anak bukan hanya di pundak orang tua, melainkan juga masyarakat secara luas, yang saling mengingatkan dalam kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar ma'ruf nahi munkar).

​Penegakan Hukum yang Tegas dan Adil: Daulah Khilafah akan menerapkan hukum syariah secara kaffah (menyeluruh) dan tanpa pandang bulu. Pelaku perundungan akan mendapatkan sanksi yang tegas sesuai dengan kejahatan yang dilakukan, yang akan memberikan efek jera dan mencegah terulangnya kejahatan serupa. Hukum Islam sangat menjunjung tinggi perlindungan jiwa, kehormatan, dan harta, termasuk bagi anak-anak.

​Peran Negara (Daulah) sebagai Pelindung dan Pengatur: Dalam Khilafah, negara memiliki peran sentral sebagai ra'in (pengurus) urusan umat, termasuk perlindungan anak. Negara akan bertanggung jawab penuh dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak, baik di sekolah, rumah, maupun ruang publik. Ini mencakup:

​Pengawasan ketat: Negara akan memastikan adanya mekanisme pengawasan yang efektif di sekolah dan lingkungan masyarakat untuk mencegah perundungan.

​Rehabilitasi dan Pendampingan: Bagi korban perundungan, negara akan menyediakan fasilitas rehabilitasi psikologis dan pendampingan yang memadai. Bagi pelaku, akan ada program pembinaan dan edukasi agar tidak mengulangi perbuatannya.

​Pencegahan Dini: Kampanye dan program edukasi tentang bahaya perundungan akan digalakkan secara masif oleh negara.

​Perlindungan Media Sosial: Negara akan mengawasi konten-konten di media sosial yang dapat memicu perundungan atau memfasilitasi perilaku negatif, serta memberikan edukasi literasi digital kepada anak dan orang tua.

​Dengan demikian, hanya dengan kembali kepada sistem Islam yang diterapkan secara menyeluruh dalam bingkai Daulah Khilafah, masalah perundungan anak yang memilukan ini dapat diatasi secara tuntas dan fundamental. Bukan sekadar solusi tambal sulang, melainkan perubahan sistemik yang akan membentuk generasi emas yang berakhlak mulia, berjiwa tangguh, dan jauh dari perilaku merusak. Ini adalah "PR besar" yang tidak bisa ditawar lagi, dan Islam menawarkan jawaban yang sempurna.

Oleh: Sendy Novita, S.Pd., M.M.

​(Pendidik & Pengkaji Isu Sosial Keislaman)





​Maraknya kasus kejahatan digital yang menimpa anak-anak dan perempuan semakin mengkhawatirkan. Data dari Komnas Perempuan dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan peningkatan signifikan terhadap laporan kejahatan siber, seperti pelecehan seksual online, eksploitasi anak, cyberbullying, hingga konten kekerasan yang menyasar anak dan remaja. Dunia digital yang awalnya dianggap sebagai sarana informasi dan hiburan, kini telah menjadi ancaman nyata terhadap keselamatan generasi penerus dan kaum perempuan.

Ancaman Digital di Era Modern

​Kemajuan teknologi dan masifnya penggunaan gawai di usia dini seakan menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi memberi kemudahan, namun di sisi lain membuka peluang besar bagi konten berbahaya masuk tanpa filter. Anak-anak yang belum memiliki kedewasaan berpikir menjadi sangat rentan. Konten yang mengandung kekerasan, pornografi, serta nilai-nilai liberal menjadi konsumsi harian yang tanpa disadari merusak karakter dan akidah mereka. Lebih parahnya, semua ini terjadi di tengah rendahnya literasi digital dan lemahnya iman akibat sistem pendidikan sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan.

Abainya Peran Negara dalam Sistem Sekuler

​Namun, di tengah persoalan ini, negara seolah abai dalam memberikan perlindungan nyata. Fokus negara lebih tertuju pada percepatan digitalisasi untuk kepentingan ekonomi, sementara aspek keselamatan dan moralitas rakyat justru dikesampingkan. Hal ini menunjukkan cacat mendasar dari sistem kapitalisme-sekuler yang menjadi landasan kebijakan negeri ini. Dalam sistem ini, keuntungan materi menjadi prioritas, sedangkan keamanan akidah dan kehormatan rakyat tidak dianggap penting.

​Lebih dari itu, ketergantungan pada infrastruktur teknologi asing menjadi ancaman tersendiri. Negara bisa dikendalikan melalui sistem informasi yang tidak mandiri, sehingga mudah disusupi agenda asing yang membahayakan. Dunia siber pun tak lagi netral. Ia bisa dijadikan senjata ideologis untuk merusak pemikiran, mengikis nilai-nilai Islam, dan melemahkan generasi.

Islam sebagai Solusi Perlindungan Siber

​Dalam Islam, negara berkewajiban menjadi junnah—pelindung rakyat dari segala bentuk ancaman, termasuk di ranah digital. Sistem Islam memiliki panduan yang jelas dalam pengembangan dan pemanfaatan teknologi. Negara Islam (Khilafah) akan mengarahkan seluruh aktivitas siber sesuai dengan syariat. Negara akan memastikan ruang digital bersih dari pornografi, kekerasan, fitnah, dan informasi sesat. Negara juga akan membangun infrastruktur teknologi mandiri untuk menjaga kedaulatan informasi dan membina generasi yang tangguh secara akidah dan akhlak.

​Perlindungan terhadap perempuan dan anak tidak bisa diserahkan pada individu atau keluarga semata. Negara harus hadir sebagai penjaga utama. Dan ini hanya akan terwujud dalam sistem pemerintahan Islam yang menjadikan iman dan takwa sebagai fondasi kebijakan. Sudah saatnya umat menyadari, bahwa hanya dengan kembali kepada sistem Islam secara kaffah, keselamatan dunia dan akhirat dapat dijaga.

​Wallahu alam bissawab.

Oleh: Sendy Novita, S.Pd., M.M.

​(Pendidik & Pengkaji Pemikiran Islam Kontemporer)






​Pernyataan Presiden Prabowo Subianto tentang "state capture"—kolusi yang mengintai Indonesia antara kapital besar, pejabat pemerintahan, dan elite politik—menggambarkan sebuah realitas pahit yang sulit dilepaskan dari sistem demokrasi modern, terutama yang beraliran kapitalisme sekuler. Realitas ini semakin diperkuat oleh kasus-kasus seperti dugaan korupsi senilai Rp 11,8 triliun yang melibatkan Wilmar Group, yang menyoroti bagaimana korupsi dan kolusi menjadi sebuah keniscayaan struktural dalam sistem tersebut.

Keniscayaan Korupsi dalam Demokrasi Kapitalis

​Dalam sistem demokrasi kapitalis yang ada saat ini, kebutuhan modal yang masif untuk memenangkan kontestasi politik seringkali menjadi akar masalah. Para politisi dan elite membutuhkan kucuran dana dari pengusaha, yang pada gilirannya akan menuntut balas budi dalam bentuk kebijakan yang menguntungkan mereka setelah terpilih. Proses politik transaksional semacam ini menciptakan lingkaran setan yang secara inheren mendorong terjadinya kolusi dan korupsi.

​Filosofi sekuler yang memisahkan agama dari negara, serta dominasi kapitalisme yang menempatkan keuntungan materi di atas segalanya, menyebabkan dunia menjadi tujuan utama, bahkan dengan menghalalkan segala cara. Jabatan tidak lagi dipandang sebagai amanah publik melainkan sebagai peluang untuk memperkaya diri dan kelompok. Ini adalah cerminan mengapa, dalam kerangka sistem ini, korupsi dan kolusi seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap politik dan ekonomi.

Islam: Amanah dan Keharaman Korupsi

​Kontras dengan sistem tersebut, Islam menawarkan kerangka yang fundamental berbeda. Islam menjadikan akidah sebagai asas kehidupan, baik individu maupun negara. Dalam pandangan Islam, jabatan adalah sebuah amanah yang akan dipertanggungjawabkan bukan hanya kepada rakyat, tetapi secara langsung kepada Allah SWT. Konsep ini menanamkan integritas dan kejujuran dalam setiap tindakan, jauh dari motivasi memperkaya diri dengan cara curang.

​Korupsi dan kolusi secara tegas adalah keharaman dalam Islam. Al-Qur'an secara eksplisit melarang praktik memakan harta orang lain dengan cara yang batil, termasuk melalui suap, manipulasi, atau penyalahgunaan wewenang. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Baqarah Ayat 188:

​"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim, agar kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui."

​Ayat ini secara gamblang melarang segala bentuk perbuatan curang yang merugikan orang lain, termasuk korupsi. Sejarah peradaban Islam atau "daulah" telah menunjukkan bagaimana penerapan prinsip-prinsip ini, beserta mekanisme pengawasan yang ketat dan sanksi yang tegas, mampu melahirkan masyarakat dan negara yang relatif bebas dari korupsi, sehingga memungkinkan perkembangan pesat dalam berbagai bidang.

Islam Kaffah sebagai Solusi Hakiki

​Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebebasan dari korupsi dan kolusi yang hakiki tidak akan pernah tercapai sepenuhnya dalam sistem yang secara intrinsik membuka peluang bagi politik transaksional dan pemisahan etika dari kekuasaan. Korupsi dan kolusi akan selalu menjadi bayang-bayang yang membayangi sistem demokrasi kapitalis sekuler.

​Hanya dengan penerapan Islam kaffah (komprehensif) sebagai asas negara dan kehidupan, di mana setiap individu dan pejabat menjunjung tinggi amanah, terikat pada hukum syara, serta diawasi oleh mekanisme syariat yang kokoh dan sanksi yang menjerakan, barulah cita-cita negara yang bebas dari korupsi dan kolusi dapat diwujudkan secara utuh.

Wallahualam bissawab.

​Oleh: Sendy Novita, S.Pd., M.M.

(​Praktisi Pendidikan & Pengkaji Kebijakan Publik Berbasis Islam)





​Kecurangan dalam distribusi beras kembali mencuat ke permukaan. Tidak hanya soal timbangan yang dikurangi, namun juga kualitas dan jenis beras yang tidak sesuai dengan label. Ironisnya, pelaku di balik praktik curang ini adalah perusahaan-perusahaan besar yang seharusnya menjadi teladan dalam tata niaga pangan. Masyarakat sebagai konsumen menjadi korban langsung, sementara negara mengalami kerugian dalam jumlah besar. Padahal, regulasi dan lembaga pengawas sudah ada. Lalu, mengapa kecurangan semacam ini terus terjadi?

Akar Masalah Kecurangan: Sistem Sekuler Kapitalisme

​Praktik kecurangan adalah suatu keniscayaan dalam sistem kehidupan yang jauh dari nilai-nilai agama. Demi keuntungan materi, banyak pihak menghalalkan segala cara, bahkan yang jelas-jelas haram dan melanggar hukum. Fenomena ini bukan sekadar kelalaian oknum, melainkan potret nyata dari wajah sistem sekuler kapitalisme, yang menormalisasi keuntungan sebagai satu-satunya orientasi, sekalipun harus mengorbankan kejujuran, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat.

​Berlarutnya persoalan ini menunjukkan dua hal yang sangat mengkhawatirkan. Pertama, lemahnya pengawasan dan sistem sanksi. Regulasi ada, tapi tidak ditegakkan secara konsisten dan tegas. Pelaku kejahatan korporasi sering kali hanya mendapatkan sanksi administratif atau teguran ringan, yang tidak memberikan efek jera. Kedua, sistem pendidikan gagal mencetak individu yang amanah dan bertakwa. Sekolah dan kampus lebih menekankan capaian akademik dan keterampilan teknis, namun abai pada pembentukan karakter dan akhlak mulia.

​Lebih dari itu, kecurangan ini juga mencerminkan ketidakhadiran peran negara dalam pengurusan pangan secara menyeluruh. Dari hulu hingga hilir, tata kelola pangan dikuasai oleh korporasi yang semata-mata berorientasi pada bisnis. Negara hanya memegang kendali terhadap kurang dari 10% pasokan pangan nasional. Akibatnya, negara kehilangan daya tawar terhadap para penguasa pasar, sehingga tidak memiliki kontrol kuat atas distribusi, harga, apalagi kualitas pangan.

Islam sebagai Solusi Komprehensif

​Islam memiliki solusi komprehensif dalam mengatasi persoalan ini. Bagi para pejabat atau penguasa, Islam menetapkan tanggung jawab besar sebagai ra'in (pengurus rakyat) dan junnah (pelindung rakyat). Penguasa harus amanah dan bertanggung jawab dalam memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat, termasuk pangan, dengan cara yang adil dan transparan.

​Tegaknya aturan dalam Islam didukung oleh tiga hal utama: ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan peran negara yang hadir secara aktif. Negara dalam sistem Islam menerapkan sistem sanksi yang tegas dan menjerakan, bukan sekadar administratif. Islam juga memiliki lembaga khusus bernama Qadhi Hisbah yang bertugas memastikan regulasi dijalankan dengan benar, termasuk dalam hal timbangan, kualitas barang, dan kejujuran dalam transaksi.

​Negara Islam wajib hadir secara utuh dalam pengurusan pangan—mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi. Negara tidak hanya memastikan ketersediaan pasokan, tapi juga mengatur rantai niaga agar bebas dari kecurangan dan penindasan, serta menjamin pangan sampai ke seluruh lapisan masyarakat dengan harga dan kualitas yang layak.

Menuju Keadilan dan Kesejahteraan Hakiki

​Sudah saatnya umat ini sadar, bahwa regulasi tanpa kekuatan dan tanpa dasar akidah yang kokoh hanya akan menjadi aturan yang tak bergigi. Selama sistem sekuler kapitalis masih menjadi landasan kehidupan, maka kecurangan demi kecurangan akan terus terjadi. Hanya dengan penerapan Islam secara menyeluruh, keadilan dan kesejahteraan yang hakiki bisa benar-benar terwujud.

​Wallahu alam bisawab.

Oleh: Sendy Novita, S.Pd, M.M

(​Pendidik & Pengkaji Pemikiran Islam Kontemporer)

  





Di tengah gemerlap dunia yang makin sekuler, tak bisa dimungkiri banyak dari kita, umat Muslim, merasa tertekan untuk berkompromi dengan syariat demi "eksis" atau "relevan". Kita melihat bagaimana sekuler, yang memisahkan kehidupan dari agama, perlahan mengikis keyakinan dan praktik keagamaan. Namun, benarkah mencintai Allah dengan sepenuh hati akan membuat kita kehilangan? Justru sebaliknya, cinta yang hakiki kepada-Nya adalah benteng terkuat yang tak akan pernah membuat kita merugi.

Godaan Eksistensi di Dunia Sekuler

​Faktanya, banyak Muslim muda, dan bahkan sebagian yang lebih tua, tergoda untuk meninggalkan sebagian syariat Islam demi diterima di lingkungan sosial, mendapatkan pengakuan profesional, atau sekadar merasa "modern". Standar kesuksesan duniawi sering kali diukur dari popularitas, kekayaan, dan pencapaian material, yang terkadang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Kita melihat fenomena hijrah yang masif, namun di sisi lain, ada pula mereka yang tergelincir kembali demi mengejar "eksis" di media sosial atau lingkaran pergaulan tertentu. Ini adalah buah dari sistem sekuler yang secara halus menjauhkan kita dari hakikat kehidupan beragama, seolah-olah agama adalah urusan pribadi yang tak boleh mencampuri ranah publik.

Teladan Rasulullah dan Para Sahabat: Dunia di Tangan, Akhirat di Hati

​Mari kita berkaca pada masa Rasulullah ï·º dan para sahabatnya. Mereka adalah generasi terbaik yang menunjukkan bagaimana mencintai Allah dan akhirat jauh lebih utama dari dunia ini. Para sahabat rela meninggalkan harta, keluarga, bahkan tanah kelahiran demi menjaga keimanan mereka. Mereka berhijrah ke Madinah, meninggalkan segala kenyamanan demi tegaknya agama Allah. Ammar bin Yasir, Bilal bin Rabah, dan Sumayyah adalah contoh nyata bagaimana mereka memilih siksaan demi mempertahankan keimanan mereka, bukan meninggalkan syariat demi eksistensi. Dunia ini bagi mereka adalah ladang amal, bukan tujuan akhir. Mereka bekerja keras, berdagang, dan berperang, namun semua itu dilakukan dengan niat mencari rida Allah, bukan semata-mata untuk mengumpulkan kekayaan atau kekuasaan.

​Dalam banyak riwayat, Rasulullah ï·º senantiasa mengingatkan para sahabat tentang fana'nya dunia dan kekalnya akhirat. Beliau bersabda, "Dunia ini adalah penjara bagi mukmin dan surga bagi kafir." (HR. Muslim). Ini menunjukkan bahwa kenyamanan sejati dan kebahagiaan abadi hanya ada di akhirat, bukan di dunia. Ketika hati dipenuhi cinta kepada Allah, segala godaan duniawi akan terasa kecil dan tak berarti.

Khilafah: Benteng Penjaga Keimanan Rakyat

​Bagaimana dengan sistem yang melindungi keimanan rakyatnya? Dalam sejarah peradaban Islam, Daulah Khilafah adalah institusi yang didirikan untuk menjaga syariat dan keimanan umat. Khilafah, dengan sistem hukum dan sosialnya yang berlandaskan Al-Qur'an dan As-Sunnah, berupaya menciptakan lingkungan yang kondusif bagi setiap individu untuk menjalankan agamanya tanpa rasa takut atau tekanan.

​Di bawah naungan Khilafah, pendidikan agama diutamakan, peradilan Islam ditegakkan, dan nilai-nilai moral dijunjung tinggi. Masyarakat didorong untuk beribadah, menuntut ilmu agama, dan berinteraksi secara Islami. Tentu saja, tidak berarti semua orang sempurna, namun sistem yang ada memfasilitasi dan melindungi praktik keagamaan. Adanya muhtasib (pengawas pasar dan moral) misalnya, memastikan bahwa transaksi ekonomi dan interaksi sosial sesuai syariat. Dengan demikian, rakyat merasa aman dan tenteram dalam menjalankan syariatnya, bahkan merasa terbantu untuk berpegang teguh pada agamanya, karena lingkungan sekitar mendukung hal tersebut.

Kembali ke Hakikat Cinta

​Mencintai Allah tidak akan membuat kita kehilangan apapun yang esensial dalam hidup ini. Justru sebaliknya, cinta kepada-Nya akan membimbing kita menuju kebahagiaan sejati, baik di dunia maupun di akhirat. Dunia ini hanyalah persinggahan sementara, dan eksistensi sejati kita ada di hadapan Allah kelak. Ketika kita mengorbankan syariat demi eksistensi semu di dunia, kita sebenarnya kehilangan inti dari keberadaan kita sebagai seorang hamba.

Senin, 21 Juli 2025

Oleh: Rati Suharjo 

(Pegiat Literasi)





Kondisi sosial dan ekonomi di Provinsi Banten saat ini cukup memprihatinkan, ditandai dengan meningkatnya angka pengangguran dan bertambahnya jumlah anak putus sekolah, yang memerlukan langkah konkret. Menyadari realitas mendesak ini, Gubernur Banten, Ansori, mengajukan usulan strategis kepada pemerintah pusat agar Pelabuhan Bojonegara ditingkatkan statusnya menjadi pelabuhan nasional.

Usulan ini didasari oleh banyaknya perusahaan besar di Banten yang masih mencatat ekspornya di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta (antarabanten.com, 2/7/2025).


Usulan Peningkatan Status Pelabuhan Bojonegara


Usulan peningkatan status Pelabuhan Bojonegara didasari oleh banyaknya perusahaan besar di Banten yang mencatatkan ekspornya di Tanjung Priok. Inisiatif ini lahir dalam kerangka otonomi daerah di sistem demokrasi kapitalistik. Pemberian kewenangan ekspor secara mandiri berpotensi menimbulkan dampak lanjutan.

Otonomi daerah sendiri merupakan hal yang lazim di mana pemerintah daerah memiliki otoritas untuk menyelenggarakan dan mengelola urusan pemerintahan di wilayahnya secara mandiri. Namun, bagi Banten, ini berpotensi menimbulkan dampak lanjutan seperti kompetisi antarwilayah dan kecemburuan sosial.


Kritik Terhadap Sistem Kapitalisme Sekularisme


Permasalahan-permasalahan ini, sayangnya, tidak terlepas dari akar sistem kapitalisme sekularisme yang dianut di negeri ini, di mana kesejahteraan rakyat kerap kali terabaikan demi keuntungan segelintir pihak.

Kendati demikian, inisiatif Gubernur Banten dalam mengusulkan Pelabuhan Bojonegara sebagai pelabuhan nasional patut mendapat apresiasi sebagai langkah strategis untuk memperlancar arus ekspor. Namun, untuk mencapai kesejahteraan yang menyeluruh dan adil, kita perlu melihat bagaimana pengelolaan aset publik seperti pelabuhan diatur dalam perspektif Islam. Ini berbeda dengan otonomi daerah dalam sistem demokrasi.


Pengelolaan Aset Publik dalam Perspektif Islam


Islam memiliki pandangannya sendiri. Seluruh aset dan sumber daya strategis dikelola oleh negara untuk sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat. Pelabuhan termasuk fasilitas publik yang harus disediakan dan diatur oleh negara guna mendukung kelancaran aktivitas ekonomi masyarakat.

Contoh nyata bisa dilihat dari kebijakan Umar bin Khattab ra., yang membangun berbagai fasilitas umum, termasuk menggali kembali sungai untuk mendukung distribusi kebutuhan rakyat.

Kebijakan seperti ini berakar pada prinsip ekonomi Islam mengenai kepemilikan, yang diklasifikasikan ke dalam tiga jenis:

  1. Kepemilikan Pribadi: Mencakup bidang-bidang seperti perdagangan, industri, pertanian, dan warisan.
  2. Kepemilikan Negara: Meliputi aset-aset seperti ghanimah (rampasan perang), jizyah (pajak dari non-Muslim), kharaj, harta orang murtad, harta tak berahli waris, serta properti dan lahan milik negara yang dikelola oleh khalifah.
  3. Kepemilikan Umum: Merupakan hak seluruh rakyat atas sumber daya penting seperti air, padang rumput, dan api, sebagaimana disebutkan dalam hadis Rasulullah ï·º: “Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud).

Pengelolaan kepemilikan umum merupakan tanggung jawab negara dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk kebutuhan pokok yang terjangkau atau bahkan gratis, layanan pendidikan dan kesehatan tanpa biaya, serta fasilitas publik lainnya.


Solusi Menuju Kesejahteraan Hakiki


Semua ini hanya akan terwujud jika negara menerapkan sistem Islam secara menyeluruh dalam bingkai Daulah Islamiyah, bukan melalui sistem demokrasi kapitalistik yang justru memperparah ketimpangan sosial.

Wallahualam bisshawab.

Oleh: Ernanda Luluk Fatimah

(Penulis & Pemerhati Isu Pendidikan Nasional)




Transformasi signifikan kembali mewarnai sistem pendidikan nasional Indonesia. Pemerintah secara resmi menetapkan Kurikulum Merdeka sebagai pedoman baru dalam kebijakan pendidikan nasional, sebagaimana diatur dalam Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024. Penetapan ini diumumkan dalam sesi tanya jawab dengan Menteri Pendidikan di Jakarta Pusat pada 11 April 2025.

Bagaimana sistem yang akan diterapkan pada Kurikulum 2025 ini? Berbeda dengan Kurikulum Merdeka yang sebelumnya digagas oleh Menteri Nadiem Makarim, sistem pendidikan terkini ini mengintegrasikan elemen Kurikulum Merdeka dan Kurikulum 2013, ditambah dengan pendekatan pembelajaran mendalam yang dikenal sebagai deep learning.

Alasan Perubahan Kurikulum: Menjawab Standarisasi Kemampuan Siswa 

Perubahan kurikulum ini didasari oleh dua alasan utama:

1. Penerimaan siswa Indonesia di luar negeri: Kurikulum sebelumnya dianggap belum memiliki parameter jelas dalam mengukur kemampuan siswa, sehingga sering kali menjadi kendala bagi calon mahasiswa Indonesia saat mendaftar ke perguruan tinggi di luar negeri.

2. Peran Tes Kemampuan Akademik (TKA): Dengan hadirnya TKA, kemampuan siswa diharapkan menjadi lebih terukur, sehingga dapat mempermudah proses penerimaan mereka di universitas mancanegara.

"Jadi saat Pak Nadiem (Makarim) menjabat, sampel yang diambil kurang representatif. Banyak kampus di luar negeri enggan menerima (murid dari Indonesia) karena ukuran kemampuan pelajar tidak jelas. Sekarang, dengan hasil TKA, kemampuan masing-masing individu akan terukur," demikian disampaikan oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'ti.

Kritik Terhadap Dinamika Perubahan Kurikulum 

Di balik kebijakan baru ini, sejumlah kritik bermunculan dari berbagai kalangan. Anggota DPR, Sofyan Tan, misalnya, dalam Rapat Kerja Komisi X DPR pada 8 November 2024, menyuarakan kekhawatirannya. Menurutnya, perubahan kurikulum yang mendadak ini dapat menjadi beban berat bagi para guru, yang bahkan masih kesulitan beradaptasi dengan sistem lama namun sudah harus mempelajari sistem baru lagi.

Pengamatan di berbagai platform media sosial menunjukkan adanya resistensi publik terhadap perubahan ini, yang berujung pada menurunnya kepercayaan terhadap konsistensi arah pendidikan nasional. Hal ini disebabkan oleh frekuensi perubahan sistem pendidikan di Indonesia yang tinggi, sementara hingga kini belum ada satu pun sistem yang dinilai berhasil secara menyeluruh. Survei UNESCO tahun 2023 bahkan mengindikasikan bahwa mutu pendidikan di Indonesia masih tertinggal dibandingkan rata-rata pencapaian negara-negara di kawasan Asia Tenggara.

Mengapa Konflik Ini Terus Terjadi?

Kebijakan pendidikan di Indonesia sering kali dinilai belum didasarkan pada data dan penelitian yang komprehensif. Selain itu, ketiadaan peta jalan pendidikan jangka panjang yang disusun secara menyeluruh dan disepakati bersama turut menjadi pemicu masalah. Seringnya pergantian kurikulum menciptakan kebingungan di kalangan pendidik, peserta didik, dan masyarakat luas. Akar masalah ini dapat dikaitkan dengan absennya Islam sebagai landasan utama dalam sistem pemerintahan dan kebijakan publik. Dalam pandangan Islam, negara bukan hanya entitas administratif, tetapi juga pelindung akidah, penjaga keadilan, dan pengayom umat.

Sepanjang sejarah, penerapan Islam secara menyeluruh dalam tata kelola pemerintahan, termasuk sektor pendidikan, terbukti telah melahirkan kemajuan peradaban dan menghasilkan generasi yang cemerlang. Beberapa contoh nyata dari kejayaan ini dapat diamati dalam peradaban berikut:

● Khilafah Abbasiyah (750–1258 M): Dikenal sebagai masa keemasan ilmu pengetahuan Islam. Negara mendirikan Bayt Al-Hikmah sebagai pusat riset dan pendidikan terkemuka. Ilmuwan seperti Al-Khawarizmi dan Ibnu Sina dapat berkembang pesat berkat dukungan penuh negara terhadap ilmu pengetahuan dan pendidikan.

● Khilafah Utsmaniyah (1299–1924 M): Menerapkan sistem madrasah dengan kurikulum yang menyatukan ilmu agama dan sains. Pendidikan dibiayai oleh negara dan menjadi bagian integral dari kebijakan pemerintahan.

● Peradaban Islam di Andalusia (711–1492 M): Cordoba pada masa itu menjelma menjadi pusat keilmuan terkemuka di Eropa, dilengkapi dengan ribuan perpustakaan serta institusi pendidikan yang maju.

Bagaimana Pemecahan yang Tepat dalam Islam? 

Pendidikan Islam mengusung kurikulum yang konsisten, relevan, dan berorientasi pada pembentukan karakter serta penanaman nilai-nilai moral.

Kurikulum yang Berkelanjutan dan Berorientasi pada Nilai:

○ Sistem pendidikan jangka panjang perlu dirancang secara ilmiah, melibatkan seluruh pemangku kepentingan, dan disepakati secara kolektif.

○ Pendidikan Islam mengutamakan kurikulum yang berkelanjutan, berlandaskan pada nilai-nilai Al-Qur'an dan Sunnah, serta relevan dengan perkembangan zaman.

○ Kurikulum harus mampu membimbing siswa untuk memahami dan mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan, serta memberikan kontribusi positif kepada masyarakat.

○ Perubahan pada kurikulum sebaiknya dilakukan secara bertahap dan terencana, dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, termasuk para ulama, pendidik, dan masyarakat luas.

Integrasi Nilai-Nilai Islam dalam Semua Mata Pelajaran:

○ Pendidikan Islam menekankan pentingnya memasukkan nilai-nilai Islam dalam seluruh mata pelajaran, tidak terbatas pada pelajaran agama saja. Hal ini bertujuan untuk membentuk karakter siswa yang baik, memiliki pemahaman mendalam tentang ajaran Islam, dan mampu menerapkannya dalam berbagai aspek kehidupan.

○ Para pendidik perlu dibekali pemahaman yang kuat tentang nilai-nilai Islam agar dapat mengaplikasikannya secara optimal dalam proses pembelajaran.

● Peningkatan Kualitas Pendidik:

○ Pendidik perlu difasilitasi dengan pelatihan dan pengembangan profesional berkelanjutan agar mereka mampu beradaptasi dengan dinamika zaman dan memberikan pendidikan yang berkualitas. Peningkatan kualitas ini harus selaras dengan prinsip-prinsip syariah dan didorong oleh semangat mencari ilmu demi kemaslahatan umat.

Peningkatan Sarana dan Prasarana:

○ Fasilitas yang memadai sangat krusial untuk mendukung proses belajar yang efektif.

○ Pemerintah dan pihak terkait perlu memastikan ketersediaan sarana dan prasarana yang cukup untuk mendukung pelaksanaan kurikulum, termasuk buku teks, perpustakaan, laboratorium, dan fasilitas pendukung lainnya, yang semuanya diarahkan untuk menunjang pendidikan berbasis nilai.

Penguatan Peran Orang Tua dan Masyarakat:

○ Pendidikan Islam menyoroti pentingnya peran orang tua dan lingkungan masyarakat dalam mendukung proses pendidikan.

○ Orang tua harus aktif mendampingi anak-anak dalam proses belajar, menciptakan lingkungan belajar yang kondusif di rumah, serta memberikan dukungan dan afirmasi positif.

○ Masyarakat juga perlu berperan aktif dalam memberi teladan dan membentuk lingkungan yang mendukung nilai-nilai Islam.

Jika kita terus membiarkan pendidikan dikendalikan oleh kebijakan jangka pendek, maka masa depan generasi bangsa akan selalu berada dalam ketidakpastian. Saatnya kita kembali pada sistem yang kokoh secara ideologis dan terbukti unggul sepanjang sejarah.

Dengan menerapkan solusi-solusi tersebut, diharapkan pendidikan di Indonesia, termasuk kurikulumnya, dapat menjadi lebih stabil, relevan, dan terfokus pada pembentukan generasi yang beriman, berakhlak mulia, dan berkontribusi positif bagi masyarakat.

Islam telah menawarkan alternatif solusi yang komprehensif untuk membangun sistem pendidikan yang stabil, bermakna, dan berkelanjutan. Sudah saatnya Indonesia menata ulang sistem pendidikannya menuju arah yang lebih jelas dan membawa perubahan positif. Kurikulum seharusnya tidak dijadikan alat politik sesaat, melainkan menjadi instrumen penting untuk membentuk generasi yang berkualitas.







Oleh: Niken Ayu Puspitasari

(Pemerhati Sosial Pendidikan)



Setiap anak berhak untuk berkembang dan bertumbuh dengan sehat serta dalam keadaan yang aman. Namun, ada kalanya anak menghadapi situasi yang tidak diinginkan seperti perundungan atau bullying.

Definisi dan Dampak Perundungan

Perundungan merupakan suatu perilaku yang merugikan dan menyakitkan, baik secara verbal, tindakan fisik, maupun melalui media digital (cyberbullying). Perilaku ini menyebabkan seseorang merasakan ketidaknyamanan, kesedihan, dan tekanan, baik pada individu maupun kelompok.

Perundungan ini kerap terjadi di dunia pendidikan Indonesia, bahkan sudah menjadi semacam tradisi di setiap sekolah. Ironisnya, perilaku menyimpang ini tak kunjung usai, malah semakin menjadi-jadi dan bahkan mengarah ke tindakan kriminal. Perlu adanya perhatian khusus agar tidak berdampak parah jangka panjang pada keselamatan, mental, serta hasil pendidikan mereka.

Kasus Perundungan di Indonesia

Setiap tahun semakin banyak fakta mengenai kasus perundungan ini. Beberapa contohnya adalah:

■ Kasus di SMP Kabupaten Bandung: Seorang siswa menolak meminum alkohol yang ditawarkan pelaku, sehingga ia diceburkan ke dalam sumur. Wakil Ketua Komisi X DPR, Lalu Hadrian Irfani, menyoroti kasus ini dan meminta agar pelaku ditindak secara hukum dan material karena menyangkut tindak pidana. Ia juga menambahkan perlunya ketegasan Kementerian dan Dinas Pendidikan untuk memastikan setiap sekolah memiliki protokol ketat dalam menangani kasus perundungan. (rri.co.id, 27/6/2025).

■ Kasus di Kecamatan Cicendo, Kabupaten Bandung, Jawa Barat: Korban mengalami tendangan dan pukulan secara bergiliran oleh para pelaku. Bahkan, salah satu pelaku sempat mengancam akan membunuh korban dengan obeng. Kombes Budi Santoso membenarkan insiden di Ciparay tersebut, mengatakan aksi perundungan ini terjadi pada Jumat lalu dengan enam orang pelaku, dan sempat terekam serta viral di media sosial. Meskipun sempat ada upaya mediasi, orang tua korban tetap melaporkan kasus ini ke Reserse Kriminal Polrestabes Bandung untuk memberikan efek jera. Akibat tindakan perundungan tersebut, korban mengalami sakit di bagian leher, pinggang, dan tangan, serta mengalami luka psikis dan trauma berat yang membuatnya takut melihat keramaian. (kompas.com, 10/6/2023).

Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan lemahnya sistem sanksi di negara kita, serta kurangnya perhatian dan ketegasan dalam sistem pendidikan. Fokus yang terlalu besar pada Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) seringkali mengabaikan pendidikan budi pekerti seperti etika, nasionalisme, toleransi, kesehatan mental, dan fisik.

Peran Orang Tua dan Sekolah

Tidak hanya lingkungan sekolah, orang tua pun memiliki tanggung jawab besar atas aksi perundungan ini. Orang tua sangat berperan penting dalam pertumbuhan anak, terutama pada tingkah dan perilakunya. Perlunya menanamkan rasa empati dan menghargai perbedaan sejak dini.

Jika perundungan ini masih berlanjut, akan semakin banyak anak-anak yang mengalami dampak negatif seperti:

■ Rasa tidak aman (insecure): Kehilangan rasa percaya diri dan merasa tidak berharga.

■ Merasa terasing: Merasa tak berharga di antara orang lain.

■ Gangguan mental: Seperti depresi, stres, dan kecemasan berlebihan.

■ Keinginan bunuh diri: Merasa dirinya sudah tidak berguna lagi.

■ Penurunan prestasi akademik.

■ Kesulitan untuk bersosialisasi kembali.

Maka, sekolah maupun orang tua perlu saling bekerja sama untuk mencegah perundungan ini, baik di lingkungan sekolah, masyarakat, maupun media sosial.

Perundungan dalam Perspektif Islam

Dalam Islam, perundungan termasuk perbuatan yang diharamkan karena sangat merugikan orang lain serta merusak citra dan harkat kemanusiaan. Islam menegaskan bahwa kita dilarang saling olok-mengolok, memanggil dengan gelar buruk, maupun mencela diri sendiri. Semua ini patut dipertanggungjawabkan.

Sistem pendidikan dalam Islam sangat bertumpu pada akidah, yang bertujuan menyiapkan mukallaf saat sudah baligh. Islam mengajarkan peraturan, menghormati, dan menghargai harkat dan martabat manusia tanpa sedikitpun kebencian. Hal ini untuk menciptakan keharmonisan antar sesama umat Islam.

Langkah Pencegahan dan Solusi

Perundungan yang kerap terjadi di seluruh wilayah pendidikan maupun sosial tidak akan kunjung surut apabila tidak ada gerak cepat untuk mengatasinya. Perlu adanya kerja sama antara pemerintah, guru, dan orang tua untuk mengatasi perundungan ini agar tidak terus berlanjut di masa depan.

Lingkungan yang sehat akan memengaruhi sifat dan perilaku anak. Oleh karena itu, kita harus selalu mengajarkan dan mencontohkan hal yang positif. Apabila terjadi tindakan negatif pada seorang anak, maka perlu adanya ketegasan dan sanksi yang kuat untuk menciptakan rasa jera atas tindakannya. Selain itu, menerapkan sistem akidah Islam juga penting untuk melahirkan generasi yang berkepribadian Islam.

Categories

Labels

Tragedi Ponpes Al-Khoziny: Bukti Telanjang Abainya Negara terhadap Pendidikan

Oleh: Rati Suharjo   Pengamat Kebijakan Publik Bangsa ini kembali berduka. Pada 29 September 2025, langit Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, seo...

Popular Posts

Blog Archive