Sebuas-buasnya binatang di alam liar, tak ada yang tega melukai darah dagingnya sendiri. Harimau rela mengorbankan diri, singa menahan lapar, dan burung kecil mempertaruhkan nyawa demi melindungi anak-anaknya. Maka, betapa ironis dan tragis ketika manusia—makhluk yang dibekali akal dan nurani—justru tega menyakiti, menelantarkan, bahkan menghabisi buah hati mereka sendiri.
Indonesia dalam Status Darurat Filisida
Realitas memilukan ini kini menjangkiti masyarakat kita. Komisioner KPAI, Diyah Puspitarini, menyebut Indonesia berada dalam status darurat filisida. Dalam psikologi forensik, fenomena ini dikenal sebagai maternal filicide-suicide, yaitu seorang ibu yang membunuh anak-anaknya lalu mengakhiri hidupnya sendiri. Data menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2024 saja, lebih dari 60 anak meregang nyawa di tangan orang tua mereka (sindonews.com, 13/1/2025).
Kasus terbaru yang mengguncang adalah tragedi yang menimpa EN (31), seorang ibu yang ditemukan gantung diri bersama dua buah hatinya, AA (9) dan AAP (11 bulan). Diduga, EN terlebih dahulu meracuni anak-anaknya. Dalam surat wasiat yang ditinggalkan, ia meluapkan keluh kesah akibat tekanan ekonomi dan lilitan utang suaminya (kompas.com, 8/9/2025).
Akar Masalah: Kapitalisme-Demokrasi yang Mengekang
Peristiwa ini jelas bukan sekadar tragedi individual. Ada faktor besar yang melatarbelakanginya: beban ekonomi yang menghimpit, konflik rumah tangga, lemahnya dukungan sosial, hingga rapuhnya ketahanan jiwa. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, akar masalahnya adalah sistem hidup yang mengekang manusia hari ini.
Di bawah naungan sistem demokrasi-sekular, agama direduksi sebatas ibadah ritual, sementara aturan kehidupan dikendalikan oleh logika manusia yang terbatas. Sistem ini melahirkan generasi pragmatis—rapuh iman, dangkal spiritualitas, dan mudah menyerah—hingga menjadikan bunuh diri sebagai jalan pintas.
Padahal, Islam dengan tegas melarangnya. Hidup adalah amanah Allah Swt., bukan milik kita untuk diakhiri sesuka hati. Bunuh diri adalah dosa besar. Allah Swt. berfirman dalam Al-Baqarah ayat 195:
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.”
Demikian pula, Islam menegaskan bahwa hidup adalah ujian dan keniscayaan. Kesulitan hidup—baik berupa kemiskinan, utang, konflik, maupun cobaan lainnya—harus dihadapi dengan memperkuat iman, bersabar, dan menjadikan syariat Islam sebagai pegangan. Allah Swt. berfirman:
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan serta diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: 'Kapankah datangnya pertolongan Allah?' Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat." (QS. Al-Baqarah: 214)
Solusi Komprehensif: Penerapan Islam Total
Penyelesaian masalah filisida ini tidak bisa dibebankan hanya kepada individu, keluarga, atau lembaga pendidikan. Negara wajib hadir dan melakukan perubahan mendasar:
- Sistem Pendidikan Sekuler harus diganti dengan kurikulum berbasis akidah Islam untuk membentuk kepribadian yang kokoh.
- Sistem Ekonomi Kapitalisme yang menindas harus ditinggalkan, diganti dengan ekonomi Islam yang menempatkan negara sebagai pelayan umat, bukan sekadar regulator pasar.
Semua ini hanya mungkin terwujud apabila Islam diterapkan secara total dalam bingkai daulah Islamiyah. Selama sistem demokrasi-kapitalisme dipertahankan, tragedi filisida serupa hanya akan terus berulang dan meninggalkan luka sosial yang tak kunjung sembuh.
Wallahu a’lam bish-shawab.