SELAMAT DATANG DI RAGAM FORMULA

BERITA DARI RAGAM FORMULA

media berita dan edukasi terpercaya yang menginspirasi dan mencerdaskan umat

Selasa, 30 September 2025

Oleh: Rati Suharjo 
(Pengamat Kebijakan Publik)

Sebuas-buasnya binatang di alam liar, tak ada yang tega melukai darah dagingnya sendiri. Harimau rela mengorbankan diri, singa menahan lapar, dan burung kecil mempertaruhkan nyawa demi melindungi anak-anaknya. Maka, betapa ironis dan tragis ketika manusia—makhluk yang dibekali akal dan nurani—justru tega menyakiti, menelantarkan, bahkan menghabisi buah hati mereka sendiri.

Indonesia dalam Status Darurat Filisida

Realitas memilukan ini kini menjangkiti masyarakat kita. Komisioner KPAI, Diyah Puspitarini, menyebut Indonesia berada dalam status darurat filisida. Dalam psikologi forensik, fenomena ini dikenal sebagai maternal filicide-suicide, yaitu seorang ibu yang membunuh anak-anaknya lalu mengakhiri hidupnya sendiri. Data menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2024 saja, lebih dari 60 anak meregang nyawa di tangan orang tua mereka (sindonews.com, 13/1/2025).

Kasus terbaru yang mengguncang adalah tragedi yang menimpa EN (31), seorang ibu yang ditemukan gantung diri bersama dua buah hatinya, AA (9) dan AAP (11 bulan). Diduga, EN terlebih dahulu meracuni anak-anaknya. Dalam surat wasiat yang ditinggalkan, ia meluapkan keluh kesah akibat tekanan ekonomi dan lilitan utang suaminya (kompas.com, 8/9/2025).

Akar Masalah: Kapitalisme-Demokrasi yang Mengekang

Peristiwa ini jelas bukan sekadar tragedi individual. Ada faktor besar yang melatarbelakanginya: beban ekonomi yang menghimpit, konflik rumah tangga, lemahnya dukungan sosial, hingga rapuhnya ketahanan jiwa. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, akar masalahnya adalah sistem hidup yang mengekang manusia hari ini.

Di bawah naungan sistem demokrasi-sekular, agama direduksi sebatas ibadah ritual, sementara aturan kehidupan dikendalikan oleh logika manusia yang terbatas. Sistem ini melahirkan generasi pragmatis—rapuh iman, dangkal spiritualitas, dan mudah menyerah—hingga menjadikan bunuh diri sebagai jalan pintas.

Padahal, Islam dengan tegas melarangnya. Hidup adalah amanah Allah Swt., bukan milik kita untuk diakhiri sesuka hati. Bunuh diri adalah dosa besar. Allah Swt. berfirman dalam Al-Baqarah ayat 195:

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.”

Demikian pula, Islam menegaskan bahwa hidup adalah ujian dan keniscayaan. Kesulitan hidup—baik berupa kemiskinan, utang, konflik, maupun cobaan lainnya—harus dihadapi dengan memperkuat iman, bersabar, dan menjadikan syariat Islam sebagai pegangan. Allah Swt. berfirman:

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan serta diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: 'Kapankah datangnya pertolongan Allah?' Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat." (QS. Al-Baqarah: 214)

Solusi Komprehensif: Penerapan Islam Total

Penyelesaian masalah filisida ini tidak bisa dibebankan hanya kepada individu, keluarga, atau lembaga pendidikan. Negara wajib hadir dan melakukan perubahan mendasar:

  1. Sistem Pendidikan Sekuler harus diganti dengan kurikulum berbasis akidah Islam untuk membentuk kepribadian yang kokoh.
  2. Sistem Ekonomi Kapitalisme yang menindas harus ditinggalkan, diganti dengan ekonomi Islam yang menempatkan negara sebagai pelayan umat, bukan sekadar regulator pasar.

Semua ini hanya mungkin terwujud apabila Islam diterapkan secara total dalam bingkai daulah Islamiyah. Selama sistem demokrasi-kapitalisme dipertahankan, tragedi filisida serupa hanya akan terus berulang dan meninggalkan luka sosial yang tak kunjung sembuh.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Rabu, 24 September 2025

Oleh: Dewi Jafar Sidik

(Ibu Rumah Tangga)




Peribahasa "kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah" menggambarkan betapa besar dan tanpa batasnya kasih sayang seorang ibu. Namun, ironisnya, dalam kehidupan modern, kita justru menyaksikan peristiwa tragis di mana seorang ibu tega mengakhiri hidup anaknya.

Salah satu kasus terbaru menimpa seorang ibu berinisial EN (34) di Kabupaten Bandung yang ditemukan tewas gantung diri bersama dua anaknya. Diduga, ia meracuni kedua anaknya sebelum mengakhiri hidupnya sendiri. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengategorikan kasus ini sebagai filisida maternal, yaitu pembunuhan anak yang dilakukan oleh ibu kandungnya.

Bukan Sekadar Masalah Individu

Kasus seperti ini bukanlah yang pertama. Beratnya beban hidup dan tekanan ekonomi dapat mengikis akal sehat, bahkan menggerus fitrah keibuan. Padahal, ibu seharusnya menjadi sosok yang paling mencintai anaknya—anak yang telah dikandung, diperjuangkan, dan diharapkan menjadi pelengkap kebahagiaan keluarga.

Namun, filisida maternal tidak bisa dipandang hanya sebagai masalah individu atau keluarga. Ada banyak faktor yang saling berkaitan dan bersifat sistemis. Ketika sistem kehidupan bermasalah, tidak mengherankan jika melahirkan individu-individu yang bermasalah.

Beberapa faktor penyebabnya antara lain:

  • Lemahnya Keimanan Individu. Keimanan yang rapuh membuat seorang ibu mudah putus asa dan gelap mata, tidak lagi memandang anak sebagai anugerah dan amanah dari Tuhan.
  • Rapuhnya Ketahanan Keluarga. Dalam sistem kapitalisme, ibu sering kali dipaksa menanggung beban ekonomi keluarga. Akibatnya, kehadiran anak dianggap sebagai beban, bukan kebahagiaan.
  • Melemahnya Peran Masyarakat. Kapitalisme menciptakan masyarakat yang individualis dan minim kepedulian. Kerabat dan tetangga sering abai terhadap ibu yang sedang menghadapi masalah, sehingga tidak ada ruang untuk berbagi beban.
  • Abainya Peran Negara. Negara yang seharusnya menjadi pelindung justru tampak abai terhadap kesejahteraan rakyat. Alih-alih melindungi, para penguasa lebih sibuk dengan retorika pertumbuhan ekonomi dan investasi, sementara banyak rakyat tenggelam dalam penderitaan.

Solusi yang Gagal dan Kebutuhan Perubahan Mendasar

Pemerintah sering kali hanya berhenti pada pendataan dan sanksi, tanpa memberikan solusi mendasar. Depresi pascamelahirkan, kesulitan ekonomi, dan keruntuhan keluarga membuat ibu kehilangan pegangan. Seharusnya, negara menjadi pihak utama dalam melindungi ibu, menanamkan keimanan yang kokoh, serta menghadirkan aturan yang menyejahterakan.

Sayangnya, dalam sistem kapitalisme, negara lebih mengabdi pada kepentingan pemilik modal. Kebijakan publik sering kali menguntungkan segelintir kapitalis, bukan rakyat. Situasi ini tidak bisa dibiarkan dan harus ada perubahan mendasar.

Islam sebagai Solusi Tuntas

Berbeda dengan kapitalisme, Islam memberikan jaminan penuh agar perempuan, khususnya ibu, dapat menjalankan perannya dengan mulia. Ibu dijamin kebutuhannya. Saat hamil dan menyusui, ia mendapat keringanan bahkan boleh tidak berpuasa demi menjaga kesehatan diri dan bayinya.

Dalam Islam, negara berperan sebagai junnah (perisai) yang melindungi perempuan dari berbagai kesulitan, termasuk masalah ekonomi. Ada tiga mekanisme utama yang ditawarkan Islam:

  1. Nafkah. Perempuan tidak diwajibkan mencari nafkah. Ia berhak mendapatkan nafkah dari suami atau walinya, sehingga dapat fokus menjalankan fungsi keibuannya.
  2. Dukungan Masyarakat. Islam menjunjung tinggi prinsip tolong-menolong. Jika ada anggota masyarakat yang kesulitan, yang lain akan membantu.
  3. Peran Negara. Negara dalam Islam wajib menjamin kesejahteraan rakyatnya, terutama fakir miskin. Kisah Khalifah Umar bin Khaththab yang memikul gandum untuk seorang ibu miskin adalah contoh nyata perhatian negara.

Kepedulian ini terwujud karena Islam memiliki sistem ekonomi dan politik yang adil dan menyejahterakan. Dengan pos-pos pemasukan negara yang halal, kas negara cukup kuat untuk menjamin kebutuhan rakyat secara merata, termasuk ibu dan anak.

Dengan penerapan syariat Islam secara menyeluruh, kaum ibu akan terlindungi lahir dan batin. Mereka dapat mengasuh dan mendidik anak tanpa terbebani persoalan ekonomi. Dengan begitu, kasus filisida maternal dapat dicegah, dan generasi unggul pun dapat diwujudkan.

Wallahu a’lam bissawab.

Senin, 22 September 2025

Oleh: Rati Suharjo 

(Pengamat Kebijakan Publik)




Setiap tahun, umat Islam di berbagai negara memperingati hari lahir Nabi Muhammad ﷺ dengan beragam tradisi. Ada yang mengadakan pengajian, bershalawat, membaca Barzanji, berbagi makanan, hingga memberi santunan kepada anak yatim dan dhuafa. Di Banten, tradisi Panjang Mulud masih dijaga sebagai wujud cinta kepada Rasulullah ﷺ. Namun, tradisi yang indah ini seharusnya tidak hanya dijadikan warisan budaya, tetapi juga menjadi pengingat perjuangan Nabi yang penuh pengorbanan.


Salah satu contohnya terlihat pada peringatan Maulid di Masjid Agung Terate, Serang, Banten, Jumat malam, 12 September 2025. Ratusan jamaah hadir memenuhi masjid. Anak-anak muda Generasi Z menjadi panitia utama, memadukan kreativitas modern dengan nilai-nilai Islam. Suasana yang meriah namun sarat makna ini menunjukkan bahwa cinta kepada Rasulullah ﷺ terus hidup dan diwariskan lintas generasi (inews.com, 13/9/2025).


Namun, di balik semaraknya perayaan Maulid, umat Islam masih menghadapi kenyataan pahit. Palestina, Suriah, Yaman, dan banyak negeri Muslim lainnya masih dilanda perang dan penjajahan. Jutaan saudara kita hidup miskin dan tertindas. Di sisi lain, tidak sedikit umat yang terlena dengan kehidupan dunia, melupakan amanah Rasulullah ﷺ untuk menegakkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Akibatnya, peringatan Maulid sering kali hanya menjadi acara tahunan tanpa makna perjuangan.


Padahal, Maulid Nabi seharusnya menjadi momen untuk merenungkan perjuangan Rasulullah ﷺ. Beliau tidak hanya berdakwah tentang ibadah, tetapi juga membangun masyarakat dan peradaban Islam. Setelah 13 tahun berdakwah di Mekah dengan penuh tekanan, Rasulullah ﷺ berhijrah ke Madinah dan mendirikan negara Islam pertama. Peradaban ini berkembang pesat selama lebih dari 13 abad, hingga akhirnya Khilafah Utsmaniyah runtuh pada tahun 1924 akibat pengkhianatan Mustafa Kemal Atatürk.


Sejak saat itu, negeri-negeri Muslim terpecah, dijajah, dan dipimpin dengan sistem sekuler, baik demokrasi maupun monarki. Syariat Islam dihapus dari kehidupan publik, budaya Barat dipaksakan, bahkan adzan dan jilbab pernah dilarang di Turki. Dampaknya terasa hingga kini: umat Islam terpecah-belah, lemah, dan kerap menjadi korban ketidakadilan dunia.


Keterpurukan ini bukan disebabkan kurangnya sumber daya atau jumlah penduduk, melainkan karena umat meninggalkan penerapan Islam secara menyeluruh. Banyak yang hanya fokus pada ibadah pribadi dan ritual, tetapi melupakan perjuangan agar ajaran Nabi diterapkan dalam kehidupan nyata. Padahal, Allah berfirman:


"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali Imran: 104)


Ayat ini menegaskan pentingnya perjuangan bersama, bukan hanya ibadah pribadi. Karena itu, Maulid Nabi seharusnya menjadi momentum kebangkitan umat untuk kembali kepada Islam secara kaffah (menyeluruh).


Ada tiga langkah penting untuk mewujudkan hal tersebut:


Menegakkan syariat Islam secara total. Islam harus menjadi pedoman hidup di semua bidang: politik, ekonomi, hukum, pendidikan, sosial, dan budaya.

Mempersatukan umat Islam di bawah satu kepemimpinan. Persatuan adalah kunci membangun kembali peradaban Islam.

Menguatkan dakwah secara berjamaah. Perubahan tidak dapat dicapai sendirian; harus diperjuangkan bersama-sama.

Hanya dengan penerapan Islam kaffah, umat Islam dapat bangkit dari keterpurukan dan kembali menjadi pemimpin dunia. Peringatan Maulid Nabi adalah waktu yang tepat untuk menyalakan kembali semangat perjuangan Rasulullah ﷺ, bukan sekadar merayakan hari kelahirannya.


Mari kita berhenti puas dengan acara seremonial semata. Sudah saatnya mengemban amanah Rasulullah ﷺ untuk menegakkan syariat Islam di seluruh aspek kehidupan dalam bingkai Daulah Islamiyah. Dengan kesadaran bersama, persatuan, dan perjuangan yang sungguh-sungguh, umat Islam akan kembali menjadi rahmat bagi seluruh alam.


Wallahu a’lam bish-shawab.

Oleh: Niken Ayu Puspitasari




Dunia kini sedang dihadapkan pada persoalan angka pengangguran yang mengkhawatirkan. Meskipun secara nasional dinyatakan turun, Indonesia tetap mendominasi angka pengangguran, terutama di kalangan anak muda. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara lain seperti AS, Cina, Inggris, dan Prancis.


Dengan jumlah penduduk mencapai 286,6 juta jiwa per akhir Juni 2025—meningkat 1,7 juta jiwa—kenaikan ini jelas menjadi tantangan besar bagi pemerintah. Diperlukan pemikiran cemerlang untuk mengembangkan sistem ekonomi, khususnya dalam penyediaan lapangan pekerjaan yang memadai sebagai pokok kehidupan sehari-hari. Pertanyaannya, mampukah pemerintah memecahkan persoalan ini dengan tanggung jawab besar menyediakan dan memfasilitasi lapangan kerja, apalagi dengan sistem ekonomi kapitalis yang mereka upayakan?


Sistem kapitalis, yang diterapkan di banyak negara, diharapkan menjadi solusi untuk perkembangan bangsa. Namun, kenyataannya, sistem ini sering kali gagal dalam praktiknya, terutama dalam sektor ekonomi. Berbagai upaya pemerintah untuk menyukseskan ekonomi kapitalisme, seperti pengadaan job fair yang berujung pada PHK, justru terasa sia-sia. Akibatnya, banyak anak muda kesulitan mencari pekerjaan dan berakhir menjadi pengangguran.


Selain tingginya angka pengangguran, Indonesia juga menghadapi ketimpangan kekayaan yang sangat nyata. Menurut data Celios, kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta rakyat Indonesia. Ironisnya, di saat rakyat kecil kesulitan, pemerintah seolah mengabaikan tanggung jawab mereka untuk menyediakan lapangan pekerjaan yang layak.


Kondisi ini semakin memilukan ketika tingginya angka pengangguran diiringi dengan kenaikan harga kebutuhan pokok seperti beras dan minyak, sementara upah hanya sebatas upah minimum. Para "cukong" dan investor akan semakin kaya, sementara rakyat kecil semakin tertindas. Lantas, mengapa masalah ini tak kunjung usai? Jawabannya terletak pada sistem yang salah. Selama sistem kapitalis masih digunakan, angka pengangguran akan terus merajalela dan menjadi masalah utama setiap tahunnya.


Pahlawan yang Terlupakan dan Jeritan Rakyat

Dunia seakan membutuhkan pahlawan yang bisa menaklukkan krisis ini. Mereka yang hidup dalam kecukupan, kenyamanan, dan kelimpahan harta, seolah tinggal di istana kekuasaan yang megah. Mereka selalu mengagung-agungkan ketangguhan masyarakat untuk bangkit dan bertahan. Namun, semua itu hanya kata-kata pemanis. Mereka tidak benar-benar merasakan penderitaan rakyat kecil.


Ironisnya, apa yang rakyat bayarkan kepada pemerintah dalam bentuk pajak tidak membuahkan hasil yang sepadan. Hal ini dikarenakan negara justru memperoleh keuntungan besar, sementara masyarakat miskin menerima imbalan yang jauh lebih kecil dari apa yang mereka bayarkan. Keadaan ini menunjukkan bahwa sistem yang ada justru membuat masyarakat semakin miskin dan menderita.


Sistem Ekonomi Islam sebagai Solusi

Islam sangat menjunjung tinggi keadilan. Sebagai penguasa, diwajibkan untuk menyediakan segala kebutuhan rakyat demi kesejahteraan hidup mereka, seperti memfasilitasi pendidikan, lapangan pekerjaan yang mudah dan layak, pinjaman modal usaha, serta pemberian hak tanah untuk tempat tinggal atau usaha.


Sistem ekonomi Islam tidak akan menimbulkan keuntungan bagi sebagian pihak saja, melainkan mengupayakan semua secara merata dan adil. Ini berbeda dengan sistem kapitalis, di mana penguasa yang memiliki modal besar akan lebih diuntungkan dan semena-mena dalam mengambil keputusan. Mereka menjadi buta terhadap jeritan masyarakat yang membutuhkan, lapar, dan sengsara. Sistem kapitalis ini setiap hari selalu menimbulkan kebobrokan akibat aturan yang dibuatnya sendiri.


Ketika dunia memublikasikan pemborosan dan kerakusan ekonomi secara gamblang, di tengah mereka yang susah bernapas karena kemiskinan, ada masa di mana si miskin tidak lagi memiliki apa pun untuk dimakan selain 'memakan si kaya'. Terdengar sadis, tetapi hal ini bisa terjadi jika ketidakadilan terus berlanjut.


Mewujudkan Generasi Berkualitas dengan Sistem Islam

Penting untuk menerapkan sistem Islam. Dengan sistem ini, kita akan mewujudkan generasi yang berkualitas. Pemerintah dapat memfasilitasi pendidikan terbaik dan memudahkan segala kebutuhan pokok, agar orang tua tidak terbebani secara materi. Selain itu, anak muda akan disokong untuk mengembangkan keahliannya. Ketika waktunya tiba, mereka akan sangat mudah dan siap bekerja sesuai dengan kompetensi masing-masing.


Inilah sistem ekonomi Islam yang harus kita terapkan. Seorang pemimpin sejati adalah mereka yang takut akan lalai dalam menjalankan kewajibannya kepada seluruh rakyat yang dipimpinnya, bukan yang sibuk mengenyangkan perut sendiri.

Minggu, 21 September 2025

Oleh: Elsa Agustin (KIPG)




Di tengah maraknya pembangunan kota dan derasnya arus urbanisasi, mimpi memiliki rumah yang layak huni masih menjadi perjuangan bagi keluarga di Indonesia. Harga tanah yang terus meroket, biaya cicilan yang mahal, hingga proses administrasi yang rumit seringkali menjadi kendala. Namun, secercah harapan muncul melalui program rumah subsidi pemerintah.


Salah satu contoh nyata terlihat di perumahan Pasadana, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung. Lahan kosong kini telah berjejer rapi rumah-rumah sederhana yang merupakan bagian dari program pemerintah 3 juta rumah layak huni untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Program ini berupaya mengatasi kendala yang selama ini menghantui calon pembeli, seperti uang muka yang tinggi, tenor pendek, dan bunga yang memberatkan.


Pemerintah berupaya memecahkan masalah ini dari dua sisi, yaitu penyediaan dan pembiayaan. Dari sisi penyediaan, rumah dibangun seefisien mungkin agar harganya tetap terjangkau. Sementara dari sisi pembiayaan, skema kredit dibuat lebih ringan dan panjang.


Dengan skema baru ini, masyarakat dengan penghasilan Rp5 juta per bulan bisa mendapatkan cicilan maksimal Rp1,5 juta. Pemerintah bahkan menjangkau mereka yang berpenghasilan di bawah Rp4 juta. Upaya ini mendapat dukungan penuh dari perbankan, seperti BTN, yang menjadi pelaku utama Kredit Pemilikan Rumah (KPR) subsidi.


Direktur BTN, Nixon LP Napitupulu, menyatakan bahwa perpanjangan tenor menjadi 20-30 tahun bisa menurunkan angsuran bulanan hingga Rp100.000-Rp200.000. Selain itu, biaya tambahan juga dipangkas. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) kini ditanggung pemerintah, semakin meringankan beban finansial calon pembeli.


Kritik Terhadap Solusi Program Rumah Subsidi

Dalam pandangan sistem kapitalisme, program pemerintah untuk membantu MBR menyediakan rumah subsidi sering dianggap sebagai solusi sementara. Ada beberapa keterbatasan yang perlu dicermati:

  • Ketergantungan pada subsidi: Program ini bisa menciptakan ketergantungan pada bantuan pemerintah, alih-alih memberdayakan masyarakat untuk mengelola keuangan secara mandiri.
  • Tidak tepat sasaran: Subsidi terkadang tidak tepat sasaran, di mana pihak yang tidak membutuhkan justru menerima manfaat, sementara yang benar-benar memerlukan kurang mendapatkan perhatian.
  • Tidak menyelesaikan masalah mendasar: Program subsidi tidak menyelesaikan akar masalah dalam sistem ekonomi, seperti ketidaksetaraan distribusi kekayaan dan kesenjangan sosial.

Masalah perumahan bersubsidi adalah permasalahan mendasar yang berulang, karena konsep pembangunan perumahan di negara kapitalis seringkali berorientasi pada bisnis, bukan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.


Alternatif Solusi dalam Sistem Islam

Sistem Islam menawarkan perspektif yang berbeda. Dalam Islam, rumah bukanlah sekadar komoditas, melainkan hak yang harus dijamin oleh negara. Tidak ada ruang untuk spekulasi atau eksploitasi dalam pemenuhan kebutuhan dasar ini.


Sistem Islam akan mengelola sumber daya alam dan kepemilikan umum secara langsung. Hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat dalam bentuk pelayanan publik, termasuk penyediaan hunian. Pembiayaannya berasal dari pos Baitul Mal, seperti hasil pengelolaan sumber daya alam, zakat, fai’, kharaj, dan jizyah.


Dana tersebut digunakan untuk membangun rumah bagi rakyat miskin, membantu mereka yang tidak memiliki hunian, atau menyediakan layanan pembiayaan tanpa riba, bukan diserahkan kepada korporasi atau pihak swasta yang mencari keuntungan semata.


Dalam pandangan Islam, rumah adalah kebutuhan primer manusia yang harus terpenuhi. Allah SWT berfirman, “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal, sesuai dengan kemampuanmu.” (QS Ath-Thalaq: 6). Sistem Islam menjamin setiap warga negaranya mendapatkan jaminan kesejahteraan. Selain sandang dan pangan, negara bertanggung jawab langsung atas pemenuhan kebutuhan pokok individu, termasuk tempat tinggal. Rasulullah ﷺ bersabda, “Imam (Khalifah) adalah pemelihara dan pengurus rakyatnya, dan ia bertanggung jawab atas mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Minggu, 14 September 2025

Oleh: Rati Suharjo (Pemerhati Kebijakan Publik)



Ironi Negara Agraris di Tengah Kenaikan Harga Beras

Indonesia, yang kerap dijuluki negara agraris dengan sawah membentang luas di berbagai wilayah, kini menghadapi kenyataan pahit. Di tengah potensi sumber pangan yang melimpah, rakyat harus menanggung beban lonjakan harga beras yang kian tak terkendali. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada pekan ketiga Agustus 2025, sebanyak 200 kabupaten/kota mengalami kenaikan harga beras, sebuah angka yang ironis dan mengkhawatirkan.

Kondisi ini menambah berat beban masyarakat, karena beras sebagai makanan pokok adalah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi setiap hari, di samping kebutuhan pokok lainnya.

SPHP: Jurus Jitu yang Gagal?

Untuk meredam kenaikan harga, pemerintah meluncurkan "jurus ampuh" melalui Program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas), 800 ribu ton beras digelontorkan ke berbagai jaringan distribusi, mulai dari ritel modern, pasar tradisional, hingga lembaga pemerintah daerah. Program ini diharapkan dapat mempermudah masyarakat memperoleh beras dengan harga terjangkau dan menekan harga pasar.

Namun, kenyataan di lapangan jauh dari harapan. Selain distribusi beras SPHP yang belum merata, kualitas berasnya pun menjadi sorotan. Investigasi Ombudsman RI menemukan banyak pedagang di pasar tradisional mengeluhkan mutu beras SPHP yang rendah, membuat konsumen enggan membeli. Akibatnya, banyak pedagang dan ritel memilih untuk tidak memajang atau menjual produk tersebut.

Melihat fakta ini, program SPHP tak lebih dari panggung sandiwara semata. Solusi yang ditawarkan bersifat tambal sulam, tidak menyentuh akar permasalahan.

Akar Masalah: Sistem Kapitalisme-Demokrasi

Sesungguhnya, masalah ini bukanlah sekadar soal teknis distribusi. Ini adalah cerminan lemahnya visi ketahanan pangan dan keberpihakan negara terhadap rakyat, khususnya petani. Padahal, seharusnya negara agraris seperti Indonesia mampu menggenjot produksi petani lokal dengan menyediakan bibit unggul, obat-obatan, hingga alat pertanian canggih untuk meningkatkan produktivitas.

Sayangnya, semua masalah ini berakar dari sistem kapitalisme-demokrasi yang diterapkan. Sistem ini melahirkan penguasa bermental pedagang, bukan pengurus rakyat. Alih-alih mendorong kedaulatan pangan, negara justru mengandalkan impor, bergantung pada mekanisme pasar, dan menyerahkan hajat hidup rakyat ke tangan korporasi besar. Akibatnya, petani lokal terus terpinggirkan, infrastruktur pertanian terbengkalai, dan rakyat dipaksa menanggung mahalnya harga pangan. Jika pola ini terus berlanjut, dampaknya akan semakin memiskinkan petani dan menjerat rakyat dalam harga pangan yang tinggi.

Khilafah: Solusi Tuntas untuk Kedaulatan Pangan

Berbeda halnya ketika Islam diterapkan dalam sebuah Daulah Islamiyah. Dalam sistem Khilafah, pertanian menjadi sektor prioritas negara. Penguasa atau khalifah adalah imam yang mengurus rakyat, bukan mencari keuntungan.

  • Optimalisasi Lahan: Setiap lahan produktif dioptimalkan agar tidak ada tanah yang terbengkalai. Negara akan mengambil alih tanah mati untuk diberikan kepada rakyat yang mampu mengolahnya, sesuai sabda Rasulullah ﷺ: "Siapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya." (HR. Ahmad).
  • Pengaturan Kepemilikan: Kepemilikan tanah diatur ketat untuk mencegah monopoli dan spekulasi oleh korporasi. Tanah luas yang tidak digarap dapat diambil alih negara dan diserahkan kepada petani yang siap mengelolanya.
  • Dukungan Penuh untuk Petani: Negara memberikan kemudahan akses modal, bibit unggul, dan fasilitas agar petani bisa meningkatkan hasil panen. Dukungan ini mencakup pembangunan infrastruktur, riset varietas, dan penghapusan pajak yang memberatkan.
  • Cadangan Pangan dan Distribusi Adil: Negara menyediakan cadangan pangan melalui Baitul Mal untuk menjaga ketersediaan bahan pokok dan mencegah krisis. Hasil pertanian didistribusikan secara adil tanpa campur tangan tengkulak atau mafia pangan. Islam melarang penimbunan bahan makanan, sesuai peringatan Nabi ﷺ bahwa pelakunya dijauhkan dari rahmat Allah.

Dengan penerapan syariat Islam secara menyeluruh, negara fokus mewujudkan swasembada, dan hanya melakukan impor jika keadaan benar-benar darurat.

Kedaulatan Pangan, Bukan Sekadar Slogan

Negara wajib mengelola urusan pangan secara langsung, menjamin ketersediaan dan kualitasnya, serta menyejahterakan petani. Pangan bukan komoditas untuk spekulasi, melainkan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Dalam sistem Khilafah, ketahanan pangan bukan sekadar slogan, tetapi terbukti nyata sepanjang sejarah.

Wallahualam bissawab.

Oleh: Ernanda Luluk Fatimah

(Penulis dan Aktivis Kota Blora)



Akhir-akhir ini, Indonesia kembali diguncang berbagai aksi unjuk rasa. Gelombang demonstrasi ini terjadi di berbagai kota, sebut saja demo warga Pati, unjuk rasa di depan Gedung DPR RI, hingga aksi "Indonesia Cemas 2025" yang dimotori oleh mahasiswa. Sayangnya, tidak sedikit dari aksi-aksi ini yang berujung tragis. Salah satunya, publik dikejutkan oleh insiden di depan DPR RI, di mana seorang ojol menjadi korban hingga meninggal dunia setelah terlindas kendaraan Brimob, memicu kerusuhan di beberapa kota.


Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan mendasar: siapa yang salah? Rakyat yang turun ke jalan atau penguasa yang gagal mengayomi rakyatnya?


Ketika Suara Rakyat Dibungkam

Fenomena demonstrasi massal sejatinya terjadi karena adanya kebijakan pemerintah yang dianggap melenceng jauh dari kepentingan rakyat. Alih-alih mendengar keluhan, pemerintah seringkali terlihat menutup mata dan telinga. Di saat yang sama, media sosial dipenuhi berita tentang bobroknya negeri. Rakyat yang muak akhirnya menyalurkan aspirasi melalui unjuk rasa, berharap suara mereka didengar dan terjadi perubahan.


Unjuk Rasa dalam Perspektif Islam

Dalam Islam, istilah “unjuk rasa” memang tidak dikenal secara harfiah. Namun, prinsip amar ma’ruf nahi munkar (menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran) dan kewajiban menasihati pemimpin adalah hal yang sangat ditekankan. Rasulullah ﷺ bersabda, "Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kalimat kebenaran di hadapan penguasa yang zalim." (HR. Abu Dawud).


Unjuk rasa sendiri masuk kategori muamalah duniawi, yang hukum asalnya mubah (boleh), selama tidak menyalahi syariat. Bahkan, bisa menjadi wajib jika tujuannya untuk meluruskan kebijakan yang zalim. Tentu, hal ini harus dilakukan secara tertib, damai, tidak merusak, tidak mencaci, dan tidak menumpahkan darah, serta berlandaskan argumen kuat, bukan sekadar emosi.


Teladan Kepemimpinan yang Ideal

Seharusnya, seorang pemimpin justru bersyukur jika ada rakyat yang berani mengingatkan kekeliruannya. Al-Qur'an menegaskan bahwa tugas pemimpin adalah mengemban amanah, melindungi rakyat, dan menegakkan keadilan (QS. An-Nisa: 58).


Kita memiliki teladan agung dari Umar bin Khattab ra., khalifah yang tidak segan mengakui kesalahannya, bahkan ketika dikoreksi oleh seorang wanita. Beliau pernah berkata, "Tidak ada kebaikan pada kalian jika tidak menyampaikannya kepada kami, dan tidak ada kebaikan pada kami jika tidak mendengarkan dari kalian." Ada pula kisah seorang sahabat yang menghunus pedang sambil berkata, "Kalau engkau menyimpang, kami akan meluruskanmu dengan pedang ini." Umar justru bersyukur karena masih ada rakyat yang berani menegurnya.


Realitas Penguasa Masa Kini

Sayangnya, realitas saat ini sangat jauh berbeda. Sebagian penguasa tampak kurang siap menerima kritik, bahkan bersikap represif terhadap rakyatnya. Sikap seperti ini memiliki kecenderungan yang mendekati perilaku diktator.


Sejarah mencatat, sistem negara Islam (Khilafah) pernah berdiri tegak lebih dari seribu tahun. Kekuatan utamanya terletak pada ketaatan penguasa dan rakyatnya kepada syariat Islam. Dalam masa itu, keadilan bisa dirasakan oleh seluruh penduduk, termasuk non-Muslim, menunjukkan bahwa sistem Islam adalah salah satu sistem terbaik yang pernah ada.


Sistem pemerintahan Islam bukan sekadar soal simbol atau nama, melainkan bagaimana seluruh aturan dijalankan sesuai syariat. Pemimpin menjadi pengayom umat, yang merasa takut jika rakyatnya lapar atau terzalimi. Di bawah sistem ini, rakyat juga sadar bahwa hidup mereka terikat dengan aturan Allah, bukan hawa nafsu manusia.


Protes Bukanlah Akar Masalah

Maka jelaslah, unjuk rasa bukanlah kesalahan rakyat. Rakyat hanya menyuarakan kegelisahan dan kebenaran yang semestinya didengar. Justru, kesalahan ada pada pemimpin yang menutup telinga dari kritik. Solusi sejati tidak cukup dengan demonstrasi semata, melainkan perubahan sistem menuju pemerintahan Islam yang benar-benar melindungi semua orang, baik Muslim maupun non-Muslim.



Oleh: Azzimatul Ilmi Ramadhina

(Aktivis Kota Blora)


Pembantaian besar-besaran kembali terjadi di Gaza, Palestina. Dengan dikirimnya tentara barbar berjumlah 60.000 pasukan, penjajah berencana merebut dan mengosongkan seluruh wilayah Gaza di tengah tekanan internasional untuk mengakhiri genosida. Upaya mengosongkan Gaza dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari pengeboman pusat pendidikan dan kesehatan, hingga menciptakan penderitaan kelaparan yang disengaja. 


Namun, di tengah semua penderitaan ini, ketangguhan mental generasi muda Gaza untuk mewujudkan mimpi-mimpinya sangatlah kuat. Mereka tetap giat belajar, mengukir prestasi, dan terus berjuang mempertahankan tanah tempat tinggalnya.


Sementara itu, di belahan bumi lain, ada fenomena Duck Syndrome yang sedang menjangkiti para mahasiswa dan pemuda. Mereka terlihat senang dan tenang di luar, padahal batinnya penuh dengan tekanan besar. Kondisi ini digambarkan pada mahasiswa Universitas Stanford, California, sebelum akhirnya diadopsi oleh banyak kampus di seluruh dunia. Sungguh disayangkan, karena kasus ini jarang sekali dibahas oleh banyak intelektual maupun influencer di Indonesia.

Perbedaan yang Mencolok

Kontras antara kedua kondisi ini sangat mencolok. Di tengah perang, anak-anak dan pemuda di Gaza tetap dididik untuk menjadi penjaga Masjid Al-Aqsha. Mulai dari anak-anak hingga orang tua, mereka memiliki kemampuan untuk memberikan pelajaran dan melakukan diskusi. Pendidikan Qur’ani yang mereka terima membentuk generasi berkepribadian Islami yang kuat. Dalam kondisi genting dan darurat, mereka tetap menuntut ilmu, karena bagi mereka, perang bukanlah alasan untuk berhenti belajar. Bahkan, banyak di antara mereka yang menyelesaikan pendidikan tanpa didampingi orang tuanya karena telah syahid.


Lain halnya dengan apa yang dialami oleh para pemuda yang berada dalam tekanan sistem Kapitalisme saat ini. Mereka bukan berjuang dari trauma perang, melainkan berjuang mati-matian untuk tetap bertahan dengan tuntutan gaya hidup ala Sekuler-Kapitalisme. 

Gaya hidup ini mendorong mereka untuk terus hidup sesuai tren. Ditambah lagi dengan fenomena FOMO (Fear of Missing Out) atau takut tertinggal, yang merambah di berbagai lini kehidupan seperti food, fashion, film, fun, dan masih banyak lagi bukti ghazwul fikr (perang pemikiran) lainnya. 

Lemahnya kondisi iman menjadikan generasi muda tidak memahami hakikat kehidupan, prioritas amal, dan rendahnya kesadaran politik. Sistem Sekuler-Kapitalis ini membuat kaum muda menjadi krisis multidimensi sehingga mereka tidak bisa menghadapi segala problematika kehidupannya seorang diri.

Solusi Tuntas Berlandaskan Akidah Islam

Jika seluruh kaum muslimin diibaratkan sebagai satu tubuh yang lengkap, maka Gaza adalah bagian dari tubuh kita yang sedang terkoyak penuh luka. Keadaannya membutuhkan kekuatan dan kesatuan seluruh kaum muslimin agar dapat mengakhiri perang dan mengembalikan kehidupan yang tenteram di bawah naungan Islam. Oleh karena itu, perlu perjuangan untuk menegakkan Khilafah Islamiyyah. Perjuangan ini membutuhkan dukungan umat, termasuk para pemuda atau para mahasiswa muslim itu sendiri.


Ketangguhan mentalitas anak-anak Gaza harus menjadi inspirasi bagi mereka yang terjangkit fenomena Duck Syndrome. Ketangguhan mental itulah yang menjadi bukti nyata luhurnya sistem Islam dalam membina generasi. Dengan sistem ini, para pemuda-pemudi tidak lagi memiliki mental strawberry, yang visualnya elok nan eksotis tetapi sebenarnya rapuh saat berulang kali disentuh.


Memang bukan tugas yang mudah, terutama untuk memahamkan kembali hakikat identitas hakiki sebagai seorang muslimah yang mampu menjalankan seluruh dimensi kehidupannya. Mereka perlu disadarkan dari jebakan standar gaya hidup ala Sekuler-Kapitalisme yang justru menistakan martabat perempuan. Padahal, seharusnya mereka dapat menjadi muslimah berdaya yang mampu memperdayakan semua dimensi kehidupannya untuk cita-cita umat.


Ini bukan solusi tambal sulam, melainkan butuh solusi tuntas dengan asas Akidah Islam untuk menangani kasus ini, yang mencakup:


  1. Solusi individu: Berusaha untuk terus meluruskan tujuan hidup, membangun kepribadian Islam, memperbanyak ibadah dan taqarrub ilallah, mencari lingkungan positif, dan aktif berdakwah.
  2. Solusi masyarakat: Harus senantiasa aktif dalam menegakkan amar ma'ruf nahi munkar di mana pun dan kapan pun.
  3. Solusi negara: Harus menggunakan sistem dan hukum kepemerintahan yang berlandaskan Islam secara keseluruhan.


Tentunya, semua itu membutuhkan penyadaran politik sehingga timbul kebutuhan umat terhadap sistem kehidupan yang benar, yaitu sistem Islam, sebagai solusi krisis multidimensi, termasuk membebaskan Palestina dari cengkeraman Zionis.



Oleh: Anizah

(Penulis dan Aktivis Kota Blora)



Maraknya kasus judi online terus menimbulkan penderitaan. Kasus tragis seorang polwan yang membakar suaminya dan seorang ibu di Bandung yang meracuni anaknya kemudian bunuh diri menjadi bukti nyata betapa judi online dapat menghancurkan kehidupan. Ini adalah cerminan yang memilukan bagi negara dengan mayoritas Muslim seperti Indonesia.

Sistem yang Rusak dan Upaya yang Gagal

Judi online adalah masalah yang sangat mengkhawatirkan. Praktik ini menghancurkan segalanya; dari kekayaan hingga iman. Kemenangan memicu kecanduan, sementara kekalahan memunculkan rasa penasaran yang tak berujung, mendorong para penjudi untuk melakukan segala cara, bahkan tindakan kriminal.

Pemerintah telah berupaya memberantas judi online dengan memblokir situs-situsnya, tetapi upaya ini tidak efektif. Situs baru terus bermunculan dengan cepat, didukung oleh iklan judi online yang masif. Kegagalan ini menunjukkan bahwa masalah judi online tidak dapat diselesaikan secara tuntas hanya dengan pendekatan parsial.

Akar masalahnya terletak pada sistem sekuler kapitalisme. Sistem ini menempatkan akal manusia sebagai penentu nilai, bukan lagi berdasarkan halal atau haram. Agama dikesampingkan dalam kehidupan, dan manfaat materi menjadi satu-satunya dasar perbuatan. Selama suatu tindakan mendatangkan keuntungan, tindakan tersebut dianggap sah, meskipun sebenarnya maksiat dan haram. Oleh karena itu, sistem kapitalisme tidak akan pernah mampu menyelesaikan masalah judi online secara fundamental.

Solusi Tuntas dalam Islam

Islam menawarkan solusi yang komprehensif dan tuntas untuk memberantas judi online. Di bawah naungan negara Islam, mekanisme berikut dapat diterapkan secara efektif:

  1. Sistem Pendidikan Berbasis Akidah Islam: Pendidikan yang berlandaskan akidah akan membentuk pola pikir dan perilaku yang didasarkan pada nilai-nilai Islam, bukan lagi keuntungan materi.
  2. Penutupan Akses Judi Online: Pemerintah Islam akan menutup total semua akses judi online serta melarang konten-konten yang tidak mendidik dan bersifat haram.
  3. Amar Ma'ruf Nahi Mungkar: Masyarakat akan menjadi pilar kedua dalam mencegah perbuatan maksiat. Konsep mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran akan diaktifkan di seluruh lapisan masyarakat.
  4. Sanksi Hukuman yang Tegas: Pelaku kejahatan dan maksiat akan dihukum secara adil dan tegas untuk memberikan efek jera, sekaligus mencegah orang lain melakukan perbuatan serupa.
  5. Pemenuhan Kebutuhan Pokok Masyarakat: Negara akan menjamin kebutuhan pokok masyarakat terpenuhi, baik dari segi harga, akses, maupun ketersediaan lapangan kerja. Dengan demikian, tidak ada lagi alasan bagi masyarakat untuk berjudi karena masalah ekonomi.

Dengan diterapkannya Islam dalam bingkai Khilafah, kehidupan masyarakat akan menjadi lebih tenang dan sejahtera, terbebas dari ancaman judi online dan berbagai kejahatan lainnya.

Wallahualam aaq

Oleh: Sendy Novita, S.Pd, M.M 

(Praktisi Pendidik)





Penderitaan rakyat Gaza terus meningkat akibat serangan brutal Zionis yang menyasar warga sipil, fasilitas kesehatan, paramedis, dan jurnalis. Kejahatan ini semakin parah dengan adanya dukungan dari negara-negara adidaya, khususnya Amerika Serikat, yang terlihat dari kebijakan seperti pengakuan terang-terangan Presiden Donald Trump terhadap kontrol penuh Zionis atas Gaza.


Meskipun komunitas internasional telah berupaya memberikan bantuan kemanusiaan, seperti melalui Misi Gaza Sumud Flotilla, upaya ini terbukti tidak cukup untuk menghentikan genosida yang terjadi.


Akar Masalah: Sistem Kapitalis Sekuler

Tragedi ini terus berulang karena sistem kapitalis sekuler yang mendominasi dunia. Dalam sistem ini, hubungan internasional hanya didasarkan pada kepentingan materi dan politik, mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Negara-negara besar melihat konflik Gaza sebagai ladang geopolitik yang menguntungkan, sehingga mereka mendukung Zionis demi menjaga kepentingan strategis di Timur Tengah.


Hal ini diperparah oleh sikap negara-negara Arab yang seharusnya menjadi pembela, namun justru memilih diam atau bahkan menormalisasi hubungan dengan Israel. Ini menunjukkan pengkhianatan dari para pemimpin Muslim yang tunduk pada tekanan politik global.


Solusi Parsial yang Tak Menyentuh Akar

Sistem kapitalis sekuler hanya menawarkan solusi parsial, seperti bantuan kemanusiaan, yang tidak pernah menyelesaikan akar masalah. Bantuan memang penting, tetapi sifatnya hanya sementara. Tanpa kekuatan politik dan militer yang terorganisir, kejahatan Zionis tidak akan berhenti. Inilah mengapa solusi kemanusiaan saja tidak pernah cukup untuk membebaskan Gaza.


Solusi Hakiki dalam Islam

Dalam Islam, solusi yang hakiki dan permanen sudah jelas: jihad fi sabilillah di bawah kepemimpinan seorang khalifah. Rasulullah SAW telah mencontohkan bahwa kezaliman hanya bisa dihentikan dengan kekuatan yang terorganisir. Negara Islam (Khilafah) memiliki kewajiban untuk mengirimkan pasukan guna membela kaum Muslim yang tertindas. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “Seorang imam adalah laksana perisai, di belakangnya kaum Muslimin berperang dan kepadanya mereka berlindung.” (HR. Muslim).


Oleh karena itu, tuntutan umat tidak boleh hanya berhenti pada bantuan kemanusiaan, melainkan harus mengarah pada tegaknya kepemimpinan Islam global yang mampu mengerahkan seluruh potensi umat untuk menghentikan kejahatan Zionis dan membebaskan Gaza.


Selama dunia masih dikuasai sistem kapitalis sekuler, penderitaan rakyat Gaza akan terus terjadi. Sudah saatnya umat bersatu, meninggalkan solusi tambal sulam, dan menggaungkan kembali seruan untuk tegaknya hukum Allah sebagai satu-satunya jalan keluar yang hakiki.

Oleh: Sendy Novita, S.Pd, M.M 

(Praktisi Pendidik)



Dunia kembali diguncang oleh kebiadaban Zionis Israel. Kali ini, kekejaman mereka semakin nyata ketika serangan drone secara sengaja menargetkan jurnalis dan paramedis di Gaza. Tragisnya, serangan tersebut terjadi saat siaran langsung, sehingga dunia dapat menyaksikan sendiri betapa kejamnya rezim Zionis yang tidak segan membantai pihak-pihak yang berusaha menyuarakan kebenaran dan memberikan pertolongan.

Salah satu jurnalis di Gaza bahkan menyerukan kepada rekan-rekan jurnalis internasional untuk datang dan melaporkan langsung apa yang terjadi di lapangan. Seruan ini menunjukkan betapa putus asanya rakyat Palestina, yang terus berjuang agar dunia melihat kenyataan pahit yang mereka alami. Sayangnya, meskipun dunia mengetahui kebrutalan tersebut, tidak ada tindakan tegas yang benar-benar menghentikan kejahatan ini. Resolusi PBB hanya menjadi tumpukan kertas tanpa daya, sementara dukungan penuh dari Amerika Serikat dan sekutunya menjadikan Zionis semakin arogan dan tak tersentuh.

Realitas yang terjadi saat ini adalah dunia hanya menjadi penonton. Tindakan kecaman, demonstrasi, dan bantuan kemanusiaan memang ada, tetapi solusi hakiki untuk menghentikan penjajahan belum juga terlihat. Dua miliar kaum Muslimin di seluruh dunia, yang seharusnya menjadi benteng pertahanan bagi saudara-saudara mereka di Gaza, belum mampu bersatu dan bergerak. Padahal, jika para penguasa negeri-negeri Muslim bersatu dan mengerahkan kekuatan militer mereka, tentu Zionis tidak akan mampu terus bertindak semena-mena.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Para penguasa negeri-negeri Muslim masih sibuk dengan urusan politik dan kepentingan masing-masing. Bahkan, sebagian justru menjalin hubungan diplomatik dan perdagangan dengan Israel, yang berarti secara tidak langsung ikut memperkuat posisi Zionis. Kondisi ini menunjukkan bahwa kesadaran umat akan solusi syar’i untuk membebaskan Palestina belum menjadi opini umum.

Tanah Palestina Adalah Tanah Kaum Muslim

Palestina bukan hanya tanah yang diperebutkan secara politik atau sekadar wilayah konflik. Bagi kaum Muslimin, Palestina adalah tanah wakaf umat Islam yang dirampas oleh Zionis Yahudi. Rasulullah ﷺ telah mengingatkan umatnya untuk menjaga dan membebaskan tanah yang dijajah, sebagaimana generasi sebelumnya berhasil mengusir penjajah melalui jihad fi sabilillah.

Sejarah mencatat bahwa jihad adalah satu-satunya cara yang mampu benar-benar mengakhiri penjajahan. Contohnya adalah pembebasan Baitul Maqdis di masa Shalahuddin Al-Ayyubi, yang mengerahkan kekuatan militer umat Islam dengan persatuan yang kokoh. Sayangnya, konsep jihad hari ini masih sering disalahpahami atau bahkan diabaikan. Padahal, kewajiban berjihad untuk membebaskan Palestina sudah ada sejak dulu dan tetap relevan hingga kini.

Pentingnya Edukasi dan Penggalangan Opini

Kondisi umat yang tercerai-berai saat ini tidak lepas dari lemahnya kesadaran terhadap solusi syar’i. Oleh karena itu, edukasi secara masif perlu terus dilakukan. Umat harus disadarkan bahwa Palestina tidak akan pernah benar-benar merdeka hanya dengan diplomasi, bantuan kemanusiaan, atau doa semata, meskipun semua itu penting. Solusi hakiki yang diwajibkan oleh syariat adalah jihad dengan kekuatan militer, yang hanya bisa dilakukan jika umat bersatu di bawah kepemimpinan yang menerapkan syariat Islam secara kaffah (menyeluruh).

Menggaungkan opini ini secara konsisten akan menjadi kekuatan yang mampu mengguncang dunia. Sama seperti runtuhnya apartheid di Afrika Selatan yang diawali dari gelombang opini global, demikian pula kebrutalan Zionis dapat dihentikan jika umat Islam benar-benar bersatu dalam kesadaran akan kewajiban mereka.

Serangan terhadap jurnalis dan paramedis di Gaza bukan sekadar tragedi kemanusiaan, tetapi bukti bahwa Zionis tidak mengenal batas dalam kejahatannya. Selama dunia hanya diam, selama umat Islam belum bersatu, kebrutalan ini akan terus berlanjut.

Kini saatnya bagi kita, kaum Muslimin, untuk tidak hanya bersedih dan marah, tetapi juga bergerak dengan kesadaran yang benar. Palestina menanti pembebasan seperti yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya. Hanya dengan solusi hakiki berupa jihad yang dipimpin oleh pemimpin yang menerapkan syariat Islam secara menyeluruh, penjajahan Zionis akan berakhir, dan tanah suci Palestina akan kembali ke pangkuan umat Islam.

"Dan perangilah mereka hingga tidak ada lagi fitnah, dan agama hanya untuk Allah semata." (QS. Al-Baqarah: 193). Wallahu a'lam bishawab.

Oleh: Sendy Novita, S.Pd., M.M 

(Praktisi Pendidik)



Fenomena krisis tenaga kerja global kini menjadi sorotan, terutama dengan meningkatnya pengangguran di negara-negara besar seperti Inggris, Prancis, Amerika Serikat, dan Tiongkok. Bahkan, di tengah tekanan sosial, muncul fenomena di mana sebagian orang terpaksa berpura-pura bekerja atau bekerja tanpa gaji hanya demi eksistensi.

Di Indonesia, meskipun angka pengangguran secara nasional menurun, generasi muda tetap menjadi kelompok paling rentan. Data menunjukkan bahwa separuh dari pengangguran di Indonesia adalah anak muda, sebuah fakta yang mengkhawatirkan bagi masa depan tenaga kerja bangsa.

Kegagalan Kapitalisme

Krisis ini merupakan cerminan nyata dari kegagalan sistem kapitalisme. Sistem yang menjanjikan kesejahteraan melalui pertumbuhan ekonomi justru menciptakan ketimpangan. Laporan dari Celios menunjukkan bahwa di Indonesia, kekayaan 50 orang terkaya setara dengan kekayaan 50 juta orang lainnya. Sebagian besar masyarakat harus berjuang keras, bahkan hanya untuk mendapatkan pekerjaan.

Pemerintah seakan lepas tangan dari tanggung jawabnya. Solusi seperti job fair hanya menjadi seremonial belaka. Bagaimana mungkin acara ini efektif jika pada saat yang sama gelombang PHK besar-besaran terjadi di dunia industri? Lebih ironis lagi, program vokasi yang diharapkan dapat mempersiapkan lulusan siap kerja ternyata tidak memberikan hasil yang signifikan. Banyak lulusan vokasi tetap menganggur, membuktikan bahwa masalahnya bukan pada kualitas tenaga kerja, melainkan pada sistem ekonomi yang gagal menciptakan lapangan kerja baru.

Selama kapitalisme masih mendominasi, pengangguran akan terus menjadi masalah kronis yang menghantui setiap generasi, terutama generasi muda.

Solusi dari Perspektif Islam

Berbeda dengan kapitalisme yang menyerahkan nasib rakyat pada mekanisme pasar, Islam menawarkan solusi komprehensif untuk mengatasi pengangguran. Dalam sistem Islam, penguasa bertindak sebagai raa'in (pengurus rakyat) yang bertanggung jawab penuh untuk menjamin setiap individu memiliki pekerjaan dan hidup sejahtera.

  1. Negara Menjamin Akses Pekerjaan Negara berkewajiban memfasilitasi rakyat dengan:
    • Pendidikan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.
    • Penyediaan modal usaha tanpa riba.
    • Industrialisasi yang bertujuan untuk kesejahteraan rakyat, bukan hanya keuntungan segelintir pihak.
    • Pemberian lahan kepada rakyat yang mampu mengelolanya.
  2. Distribusi Kekayaan yang Adil Sistem ekonomi Islam mencegah konsentrasi kekayaan pada sekelompok kecil orang. Dengan mekanisme zakat, larangan riba, dan pengelolaan kepemilikan umum oleh negara, kesenjangan ekonomi dapat ditekan, sehingga setiap orang memiliki akses yang adil terhadap sumber daya.
  3. Sistem Pendidikan yang Holistik Pendidikan dalam Islam tidak hanya menyiapkan lulusan agar siap kerja, tetapi juga membentuk sumber daya manusia (SDM) yang berintegritas. Pendidikan ini berorientasi pada pembangunan manusia seutuhnya, sehingga generasi muda tidak hanya siap menghadapi dunia kerja, tetapi juga memiliki tujuan hidup yang jelas dan bermakna.

Generasi muda adalah aset masa depan bangsa. Namun, di bawah sistem kapitalisme, mereka justru menjadi korban utama. Sudah saatnya kita mempertimbangkan alternatif sistem yang mampu memberikan solusi nyata, yaitu sistem Islam yang terbukti mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.

Jika generasi muda hari ini ingin melihat perubahan, maka perubahan itu harus dimulai dari mengganti sistem yang gagal ini. Kapitalisme tidak akan pernah memberikan kesejahteraan, hanya janji-janji palsu yang terus mengikis harapan.

Wallahualam bisshawab. 

Rabu, 10 September 2025

Oleh: Rati Suharjo

(Pegiat Literasi)




Kasus keracunan makanan Program Makan Bergizi Sehat (MBG) kembali mencuat. Di Lebong, Bengkulu, sebanyak 456 siswa jatuh sakit dengan gejala pusing, mual, dan muntah, yang mengharuskan mereka dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan medis.


Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Lebong, Rahman, menyampaikan bahwa hasil uji laboratorium menunjukkan bakso yang disajikan dalam program MBG telah terkontaminasi bakteri. Temuan ini menegaskan bahwa penyebab utama keracunan berasal dari makanan yang dikonsumsi para siswa. (Kompas.com, 3/9/2025)


Namun, Bengkulu hanyalah salah satu contoh. Kasus serupa juga terjadi di Sragen, Lampung, Tangerang, dan berbagai daerah lainnya. Ironisnya, program yang awalnya dirancang untuk meningkatkan gizi peserta didik, menekan angka putus sekolah, dan mendukung kualitas pembelajaran, justru menimbulkan keresahan publik. Padahal, lahirnya MBG berangkat dari kenyataan pahit: banyak anak datang ke sekolah dengan perut kosong, bahkan ada yang tidak makan sejak sore sebelumnya.


Janji Manis yang Runtuh di Hadapan Realitas


Di atas kertas, gagasan Makan Bergizi Gratis (MBG) terdengar menjanjikan. Program ini dipromosikan sebagai penopang kesehatan generasi muda, penggerak ekonomi daerah, sekaligus jawaban atas krisis pascapandemi. Hingga Juli 2025, pemerintah mengklaim telah menyalurkan manfaat kepada 7,37 juta penerima melalui 2.375 dapur komunitas gizi (SPPG). Targetnya pun terbilang ambisius: menjangkau 20 juta penerima sebelum 17 Agustus dan meningkat hingga 82,9 juta penerima pada akhir tahun. Program ini juga digadang-gadang mampu membuka lebih dari 100 ribu lapangan kerja.


Namun, narasi indah itu runtuh saat dihadapkan pada realitas. Rangkaian kasus keracunan mengungkap kelemahan mendasar: banyak makanan yang disajikan tidak memenuhi standar operasional prosedur (SOP), pengawasan dapur belum optimal, dan standar keamanan pangan masih jauh dari memadai. Tidak mengherankan jika sayuran yang dibiarkan di suhu ruang menjadi tempat berkembang biaknya bakteri, atau lauk yang tampak matang di luar namun mentah di dalam justru memicu kontaminasi. Alih-alih menyehatkan, makanan tersebut malah menjadi ancaman serius bagi anak-anak sekolah.


Jika pola seperti ini dibiarkan tanpa pembenahan menyeluruh, masa depan generasi bangsa bisa terancam. Pertanyaan besar pun muncul: bagaimana mungkin masalah stunting dapat diselesaikan hanya dengan satu kali makan seharga Rp10 ribu per anak? Harapan besar itu tampak lebih seperti fatamorgana ketimbang solusi nyata.


Solusi Hakiki Menurut Pandangan Islam


Islam sendiri menawarkan solusi mendasar terhadap permasalahan pangan dan gizi. Dalam Islam, penguasa adalah ra’in—pelayan umat—yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan rakyatnya, mulai dari sandang, pangan, hingga papan. Pemenuhan gizi masyarakat tidak cukup hanya dengan membagikan makanan murah. Pemerintah harus menelusuri akar masalah yang membuat rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan gizi.


Indonesia dikenal sebagai negeri agraris yang subur. Sebagaimana lirik lagu Koes Plus, “Hutan dan kayu jadi tanaman.” Maka, solusi nyata adalah mendorong swasembada pangan, membangun kemandirian bangsa, dan menghentikan ketergantungan pada impor. Dengan demikian, negeri ini dapat memproduksi bahan pangan berkualitas dengan harga terjangkau bagi seluruh rakyat.


Langkah penting lainnya adalah meninjau ulang Undang-Undang Penanaman Modal yang memberi peluang besar bagi kapitalis untuk menguasai aset dan sumber daya alam rakyat. Jika sumber daya alam dikelola negara untuk kepentingan rakyat, maka akan tercipta lapangan kerja luas bagi kepala keluarga dan generasi muda. Hal ini sejalan dengan janji politik Gibran saat kampanye, agar kebijakan pro-rakyat tidak hanya berhenti di baliho dan spanduk semata.


Dengan kebijakan berbasis kemandirian, rakyat akan sejahtera dan mampu memenuhi kebutuhan gizi keluarganya, sebagaimana konsep “empat sehat lima sempurna.” Sejarah mencatat teladan Umar bin Khattab yang rela memanggul sendiri karung gandum untuk rakyatnya yang kelaparan.


Sayangnya, kebijakan seperti ini sulit terwujud dalam sistem kapitalisme yang menempatkan keuntungan di atas keselamatan rakyat. Jika bangsa ini benar-benar ingin melahirkan generasi yang sehat dan kuat, maka solusi hakiki adalah kembali pada metode Rasulullah ﷺ dan para khalifah dalam memimpin, yakni menjadikan pemimpin sebagai ra’in atau pelayan umat. (HR Bukhari dan Muslim)

Wallahu a’lam bish-shawab.


Minggu, 07 September 2025

Oleh: Rati Suharjo

Pegiat Literasi



“Untukmu yang duduk sambil diskusi

Untukmu yang biasa bersafari

Di sana, di gedung DPR…”


Penggalan lagu Wakil Rakyat karya Iwan Fals kembali menggema. Kali ini bukan sekadar kritik, melainkan tamparan keras bagi para wakil rakyat. Kursi empuk dan jas rapi yang seharusnya melambangkan kehormatan justru menjadi simbol nurani yang tertidur. Rapat-rapat yang dipenuhi kepentingan pribadi meminggirkan suara rakyat, sementara janji-janji kampanye hanya menjadi hiasan semata.


Saat rakyat menanti kebijakan yang mampu meredakan beban hidup yang kian menghimpit, mereka justru dipaksa menyaksikan kabar pengesahan tunjangan DPR. Ironisnya, keputusan itu dirayakan dengan sorak-sorai dan tarian para wakil rakyat—sebuah pemandangan yang mencederai nurani publik.


Publik pun marah besar setelah Affan Kurniawan, pengemudi ojek daring, tewas tertabrak mobil taktis Brimob saat mengantar pesanan. Peristiwa ini memicu gelombang protes yang meluas. Jakarta menjelma lautan amarah rakyat. Kantor polisi digeruduk, gedung pemerintah dilalap api, dan jalanan diselimuti asap ban terbakar. Setiap jilatan api berdiri sebagai vonis atas pengkhianatan negara terhadap rakyatnya.


Aksi massa tersebut merembet ke berbagai kota lain. Rumah pejabat dan selebritas politik seperti Uya Kuya, Eko Patrio, Sri Mulyani, Nafa Urbach, hingga Ahmad Sahroni menjadi sasaran amukan rakyat (detiknews.com, 31/8/2025). Pernyataan Sahroni yang menyebut seruan pembubaran DPR “tolol” serta pembelaannya terhadap kekerasan aparat justru memperbesar kemarahan. Kota-kota seperti Banten, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Solo, dan lainnya tak luput dari gelombang protes.


Gejolak ini menunjukkan bahwa pergantian pejabat, perombakan kabinet, atau amandemen konstitusi tidak cukup untuk membawa kesejahteraan. Sistem demokrasi sekuler hanyalah membuat janji kosong kepada rakyatnya, namun akhirnya memihak kepada oligarki.


Permasalahan mendasar sesungguhnya bukan terletak pada siapa yang berkuasa, tetapi pada sistem yang diterapkan. Selama sistem ini bertahan, penderitaan rakyat akan terus berulang.


Maka, solusi sejati bukan sekadar reformasi atau perombakan kabinet, melainkan perubahan mendasar: kembali kepada syariat Islam sebagai dasar negara. Islam adalah agama yang sempurna, mengatur seluruh aspek kehidupan—mulai dari akhlak pribadi hingga tata kelola pemerintahan.


Dalam sistem Islam, negara berperan sebagai pengurus umat, bukan pelayan korporasi. Salah satunya adalah menerapkan ekonomi Islam dengan mengelola kekayaan alam untuk kepentingan rakyat, bukan diprivatisasi. Dengan begitu, kesejahteraan dapat dirasakan secara nyata. Syariat juga menutup celah kesenjangan sosial, melindungi yang lemah, dan memastikan hak setiap warga—baik muslim maupun nonmuslim—terpenuhi.


Sejarah telah membuktikan keadilan Islam. Rasulullah saw. menerapkan ekonomi Islam dalam sebuah negara Islam di Madinah, yang kemudian dilanjutkan oleh para khalifah. Salah satu teladan terbesar adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Dinasti Umayyah. Kepemimpinannya ditandai oleh keadilan, kesederhanaan, dan keberpihakan pada rakyat. Ia menghapus pajak yang zalim, mengembalikan tanah rampasan, dan mengelola Baitul Mal dengan penuh amanah.


Kesejahteraan pada masa itu begitu nyata hingga petugas zakat kesulitan menemukan orang miskin yang layak menerima bantuan. Zakat digunakan untuk membangun fasilitas umum, membantu orang yang terlilit utang, memerdekakan budak, serta memenuhi berbagai kebutuhan sosial lainnya.


Keadilan, kesejahteraan, dan ketenteraman sejati hanya akan terwujud jika syariat Islam diterapkan secara menyeluruh dalam bingkai Daulah Islamiyah. Kini saatnya bangsa ini berhenti mengandalkan solusi tambal sulam dan kembali kepada hukum Allah yang sempurna.


Wallahu a‘lam bish-shawab.

Senin, 01 September 2025

Oleh: Sri Hani

(Pegiat Dakwah)





Di tengah gencarnya kampanye kesehatan dan janji pemerataan layanan medis, kisah tragis seorang balita bernama Raya menjadi tamparan keras bagi kita semua. Di usia yang baru menginjak empat tahun, Raya harus meregang nyawa akibat infeksi cacing gelang (Ascaris lumbricoides) yang bersarang di tubuh mungilnya. Cerita ini bukan sekadar kisah duka satu keluarga, melainkan cermin nyata carut-marut layanan kesehatan di negeri ini.


Raya hidup di Kampung Padangenya, Desa Cianaga, Kecamatan Kebandungan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Sehari-hari ia diasuh oleh ayahnya yang menderita TBC dan ibunya yang mengalami gangguan jiwa. Keluarga miskin ini tinggal di rumah sederhana yang berdekatan dengan kandang ayam—tempat Raya sering bermain. Lingkungan kotor dan tidak higienis, yang dipenuhi kotoran ayam, menjadi sumber telur cacing gelang yang akhirnya menginfeksi tubuhnya. Infeksi tersebut begitu parah hingga saat Raya dilarikan ke RSUD R. Syamsudin, ia sudah tidak sadarkan diri dan bahkan cacing keluar dari hidungnya. Meski tim medis telah memberikan obat, kondisinya yang kritis membuat nyawanya tak tertolong (detikjabarnews.com, 18/8/2025).


Tragedi ini memperlihatkan dua masalah utama: kondisi sosial-ekonomi yang memprihatinkan dan lemahnya sistem layanan kesehatan. Kemiskinan membuat keluarga Raya hidup dalam lingkungan tidak layak, sementara akses terhadap edukasi kesehatan dan sanitasi begitu minim. Pelayanan BPJS yang rumit dan birokratis justru memperlambat penanganan darurat. Kasus Raya hanyalah satu dari sekian banyak cerita anak-anak Indonesia yang menjadi korban ketimpangan sistem kesehatan.


Dalam ajaran Islam, kesehatan memiliki kedudukan tinggi, bahkan menjadi nikmat terbesar setelah keimanan. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Mintalah kepada Allah ampunan dan kesehatan. Sesungguhnya setelah keimanan, tidak ada nikmat yang lebih baik diberikan kepada seorang selain nikmat sehat." (HR. Hakim)

Beliau juga bersabda: "Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah." (HR. Muslim).


Kesehatan dalam Islam adalah hak setiap rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara. Ajaran Islam tidak hanya menekankan pentingnya menjaga kesehatan secara individu, tetapi juga menuntut negara hadir sebagai pelindung rakyat. Dalam kebijakan Islam, kesehatan gratis wajib disediakan oleh negara dengan kualitas yang baik, memastikan kebersihan lingkungan, serta memberikan edukasi kesehatan kepada masyarakat. Sistem ekonomi berbasis syariah pun menghapus kesenjangan sosial yang membuat masyarakat miskin rentan terhadap penyakit.


Kasus Raya seharusnya menjadi panggilan untuk kembali menata sistem kesehatan yang adil, terjangkau, dan berpihak pada rakyat kecil, sebagaimana diajarkan Islam.


Wallahu a‘lam bish-shawab.

Oleh: Fika Adriani

(Praktisi Pendidikan)





Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan, setiap tahun, euforia perayaan Hari Kemerdekaan bergema di seluruh pelosok negeri, dari desa kecil hingga kota besar. Rakyat larut dalam kegembiraan dengan berbagai lomba, pesta rakyat, hingga upacara kenegaraan yang penuh khidmat.


Namun, di balik hiruk pikuk perayaan itu terselip tanya yang menggugah nurani: benarkah bangsa ini telah meraih kemerdekaan sejati? Ataukah kemerdekaan hanya dipahami sebatas bebas dari penjajahan fisik, sementara rakyat masih terkekang oleh kemiskinan, ketimpangan sosial, dan bentuk-bentuk penindasan modern?


Ironisnya, meskipun 80 tahun sudah penjajah asing angkat kaki, kenyataan di lapangan menunjukkan rakyat belum sepenuhnya merdeka. Kondisi ini tampak jelas dalam berbagai aspek kehidupan.



Sulitnya mencari penghasilan masih menjadi persoalan utama. Data BPS (2025) mencatat angka kemiskinan mencapai 9,36% atau sekitar 25,22 juta jiwa. Sementara itu, pengangguran terbuka mencapai 7,6 juta orang. Akibatnya, kualitas hidup menurun, angka kriminalitas meningkat, dan akses terhadap kesehatan serta pendidikan semakin terbatas.


Kesenjangan dan Korupsi

Masalah ini semakin diperburuk oleh perilaku pejabat publik. Mereka yang seharusnya mengemban amanah rakyat justru banyak terseret kasus korupsi. Di sisi lain, mereka menikmati gaji dan fasilitas fantastis, mencapai sekitar Rp100 juta per bulan, belum termasuk tunjangan mewah. Kontras dengan itu, rakyat justru dipaksa menanggung beban kenaikan pajak yang menjepit hampir seluruh sektor kehidupan, dari kebutuhan pokok hingga pendidikan.


Tidak berhenti di situ, kondisi infrastruktur pun menjadi bukti lain. Jalanan banyak yang rusak, sekolah roboh, biaya kesehatan makin mahal, sementara fasilitas pejabat justru terus meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa prioritas pembangunan kerap tidak berpihak pada kepentingan rakyat banyak.


Selain itu, masalah utang luar negeri juga menambah beban bangsa. Per Mei 2025, utang Indonesia tercatat mencapai US$393 miliar (setara Rp6.400 triliun). Ironisnya, sebagian besar hanya digunakan untuk menutup defisit dan membayar bunga, bukan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kondisi ini memperlihatkan bahwa kedaulatan ekonomi bangsa masih terikat erat pada sistem itu sendiri. 


Namun, fakta hari ini menunjukkan kemerdekaan yang kita rasakan hanyalah kemerdekaan semu. Penjajah kini tidak lagi datang dari luar, melainkan lahir dari dalam negeri sendiri: segelintir elite yang mengkhianati amanah rakyat.


Hakikat penjajahan tidak hanya berupa penguasaan fisik, melainkan juga eksploitasi sumber daya, pengekangan kebebasan, dan perampasan hak rakyat. Bukankah kondisi itu yang masih terjadi? Rakyat yang bersuara lantang dianggap ancaman, sementara janji-janji kampanye pemimpin kerap berakhir sebagai sandiwara politik.


Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bangsa ini sedang terjebak dalam bentuk neo-kolonialisme dan kapitalisme modern yang menjerat rakyat, menjadikan mereka asing di negeri sendiri. Kemerdekaan kehilangan ruhnya karena tidak dibarengi kesejahteraan, keadilan, dan kedaulatan yang nyata.


Untuk keluar dari jeratan tersebut, bangsa ini membutuhkan arah baru dalam memaknai kemerdekaan. Kemerdekaan sejati bukan sekadar bebas dari penjajah asing, melainkan terwujud ketika setiap rakyat dapat hidup layak, terbebas dari penindasan, serta menikmati hasil kekayaan negeri secara adil.


Dalam perspektif Islam, kemerdekaan hakiki mencakup kebebasan fisik, politik, spiritual, dan sosial. Islam datang melalui risalah Nabi Muhammad Saw. untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penghambaan kepada selain Allah SWT. Maka, solusi atas problem kemerdekaan semu ini adalah kembali kepada aturan Allah secara kāffah (menyeluruh).



Sumber daya strategis seperti energi, tambang, dan air dikelola negara sebagai milik umum, bukan diprivatisasi. Hasilnya digunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat.



Negara wajib menjamin kebutuhan pokok rakyat—pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan—tanpa membebani mereka dengan pajak mencekik.


Penciptaan Lapangan Kerja

Selain itu, negara perlu menghadirkan industrialisasi berbasis potensi lokal, menghidupkan sektor pertanian dengan distribusi tanah yang adil, serta memastikan hak hidup fakir miskin melalui mekanisme Baitulmal.


Sistem pendidikan Islam mesti melahirkan generasi cerdas, kritis, dan berakhlak luhur. Negara juga menjaga akidah umat dari ideologi sekuler, liberal, maupun komunisme yang merusak sendi kehidupan.


Dengan penerapan syariah Islam secara sempurna, bangsa akan terbebas dari cengkeraman kapitalisme global. Negeri ini akan bertransformasi menjadi baldatun ṭayyibatun wa rabbun ghafūr sebagaimana dalam QS. Saba’: 15: negeri yang baik, sejahtera, dipimpin dengan adil, masyarakatnya bersyukur, serta penuh ampunan Allah SWT.


Akhirnya, inilah cita-cita kemerdekaan hakiki: kedaulatan penuh, keadilan sosial, dan kesejahteraan nyata bagi seluruh rakyat, bukan hanya segelintir elite. Tanpa itu semua, peringatan kemerdekaan hanya akan menjadi ritual seremonial tanpa makna.


Wallahu a’lam bissawab.

Categories

Labels

Tragedi Ponpes Al-Khoziny: Bukti Telanjang Abainya Negara terhadap Pendidikan

Oleh: Rati Suharjo   Pengamat Kebijakan Publik Bangsa ini kembali berduka. Pada 29 September 2025, langit Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, seo...

Popular Posts

Blog Archive